Sabtu, 16 November 2013
TEORI-TEORI HUKUM MENURUT PARA AHLI
TEORI
– TEORI SOSIOLOGI HUKUM MENURUT PARA AHLI
HANS
KALSEN ( TEORI HUKUM MURNI )
Teori Hukum Murni dari
Hans Kelsen muncul setelah munculnya teori hukum kodrat, pemikiran tentang
moral yang disebut "the Golden Rule", mazhab sejarah hukum, mazhab
utilitarianisme hukum, mazhab sosiologi hukum, Analytical Jurisprudence dari Austin
dan mazhab realisme hukum Amerika Serikat dan Skandinavia.
Teori Hukum Murni adalah
suatu teori positivistik di bidang hukum dan merupakan kritik terhadap teori
hukum kodrat, teori tradisional di bidang hukum, sosiologi hukum dan Analytical
Jurisprudence. Teori Hukum Murni juga tidak sependapat dengan pemikiran
realisme hukum Amerika Serikat. Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari
relik-relik animisme yang menganggap alam sebagai legislator dan melepaskan
hukum dari karakter ideologis menyangkut konsep keadilan dan atau value
judgment.
Dalam kritiknya terhadap
sosiologi hukum dan teori tradisional di bidang hukum, Teori Hukum Murni
melepaskan hukum dari bidang empiris, pertama-tama bidang poiltik, dan juga
dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang
dianut bidang politik. Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai norma pada
tataran the Ought / das Sollen, yang terpisah dari bidang empiris, karena
Austin mengajarkan bahwa hukum adalah perintah yang berada pads tataran the Is
/ das Seitz di bidang empiris.
Dengan demikian, Teori
Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir non-hukum, seperti misalnya
psikologi, sosiologi, etika ( filsafat moral ) dan politik. Pemurnian hukum
dari anasir-anasir non-hukurn tersebut dilakukan dengan menggunakan filsafat
neo-kantian mazhab Marburg sebagai daftar pemikirannya. Neo-kantianisme mazhab
Marburg memisahkan secara tajam antara the Ought / das Sollen dengan the Is I
das Sin, dan, antara bentuk ( Form ) dengan materi ( matter ). Sejalan dengan itu,
Kelsen memisahkan secara tajam antara norma hukum pada tataran the Ought I das
Sollen dengan bidang empiris pada tataran the Is / das Seitz, dan memisahkan
secara tajam antara hukum formal dengan hukum materiil.
Teori Hukum Murni hanya
mengakui hukum formal sebagai obyek kajian kognitif ilmu hukum, sedangkan hukum
materiil tidak dicakupkan dalam bidang obyek kajian ilmu hukum, karena hukum
materiil berisikan janji keadilan yang berada di bidang ideologis, yang pada
tataran praktis dilaksanakan di bidang politik. Teori Hukum Murni memusatkan
kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk
suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak "Grundnorm".
Oleh karena kajiannya
hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka Teori Hukum Mumi
hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya teori tersebut
mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep
keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek yuridis
formal, Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan
berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu
alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau
pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma
hukum kasuistis.
Karena hukum dipisahkan
dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau melanggar
kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil
pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengadung kelemahan, stufentheory dalam
Teori Hukum Murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem tata hukum. Teori
Hukum Murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam suatu versi
tersendiri, yang berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan
mencegah anarkisme murni pada sisi lain.
P.NONET &
P. SELZINCK ( HUKUM RESPONSIVE )
P. Nonet dan P. Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar
dari hukum dalam masyarakat, yaitu:
ü Hukum Represif,
hukum sebagai pelayan kekuasaan represif
ü Hukum Otonom,
hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya
ü Hukum Responsif
hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial
Pemikiran hukum
progresif menurut saya tak lepas dari munculnya hukum responsive yang
dicetuskan nonet dan selznick. Hukum progresif lahir hingga melampaui
eksistensi hukum positif (hukum yang berlaku saat ini), sosiologi hukum,
realisme hukum, dan seterusnya. Pemikiran humanistik dan mekanistik (sistem)
disatukan dengan jernih oleh Satjipto Rahardjo dalam mengkonsepsikan hukum.
Latar belakang Prof Tjip sebagai begawan hukum yang mengedepankan ide sosiologi
hukum dalam setiap pemikirannya. Penegakan hukum harus diperkaya dengan
ilmu-ilmu sosial. Berbeda dengan teori murni hans kelsen yang menghilangkan
anasir non hukum dalam kajian hukum. Bahkan hukum harus bebas dari anasir
sosial maupun politik yang kerap kali menyelimuti setiap produk hukum.
Produk hukum yang berkarakter
responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang
sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi
individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang
bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum
tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh
karena itu hendaklah kita berusaha untuk mewujudkan ide serta gagasan progresif
mengenai hukum ini. Hukum dibuat untuk kebahagiaan manusia dan manusia tidak
hidup untuk mematuhi hukum.
ROBERT SEIDMAN
( THE LAW OF THE NON TRANSFERABILITY OF Law )
Teori Robert Seidman tentang “the Law of the non transferability of law”
( hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat
lainnya ). Jadi menurut Seidman, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan,
kita tidak dapat begitu saja mentransfer hukum asing ke dalam masyarakat kita
untuk langsung diberlakukan. Mungkin saja perangkat hukum asing itu efektif di
masyarakatnya sendiri, karena antara perangkat hukum asing itu dengan kebutuhan
masyarakatnya sudah selaras, antara hukum dengan pemikiran warga masyarakatnya
serasi, namun belum tentu cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain, yang
berbeda perangkat sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda
stratifikasi sosialnya, berbeda taraf pemikiran warga masyarakatnya. Bekerjanya Hukum menurut R. Seidman, antara lain :
1. Setiap
peraturan memberitahu bagaimana seorang pemegang peranan (role
occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak
sebagai respons terhadap peraturan
merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya,
sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan
komplek sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
2. Bagaiman
lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan
hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,
sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan
lain-lainnya yang mengenali diri mereka serta umpan balik yang datang dari
pemegang peranan.
3. Bagaimana
para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan komplek kekuatan sosia, politik, ideologis dan lain-lainnya yang
mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta
birokrasi.
LAWRENCE
FRIEDMAN ( TRIANGULAR LEGAL SYSTEM )
Menurut
Lawrence M. Friedman dalam buku Dasar-Dasar Sosiologi Hukum (Sabian
Utsman,2009:356) ada tiga elemen penting yang dapat menentukan berfungsinya
suatu hukum yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur hukum yang
baik akan berjalan dengan baik apabila didukung dengan substansi hukum yang
baik, begitu pula sebaliknya. Kedua elemen tersebut akan berjalan baik apabila
diikuti budaya hukum yang baik dari masyarakat. Jika budaya hukum dari
masyarakat tidak dapat mendukung kedua elemen tersebut maka tidak ada artinya.
Substansi hukum meliputi : aturan, norma, & pola perilaku (hukum yang
tertulis & hukum yang berlaku – hidup dalam masyarakat).
Menurut
Lawrence, tiga elemen penting yang menentukan berfungsi atau tidaknya hukum
antara lain :
1.
Struktur Hukum meliputi : tatanan daripada elemen lembaga
hukum (kerangka organisasi & tingkatan dr lembaga kepolisian, kejaksaan,
kehakiman, pemasyarakatan, kepengacaraan).
2.
Budaya hukum meliputi : nilai-nilai, norma-norma &
lembaga-lembaga yg menjadi dasar daripada sikap perilaku hamba hukum.
3.
substansi hukum meliputi : peraturan - peraturan atau
regulasi yang di buat oleh lembaga yang berwenang.
JHON RAWLS (
THEORY OF JUSTICE )
Teori Keadilan (John Rawls,2006:15)
menyebutkan salah satu bentuk keadilan sebagai fairness, yaitu memandang netral kepada semua pihak yang melanggar
hukum. Dapat dipahami bahwa aparat penegak hukum harus bersikap netral kepada
semuanya tanpa memandang atribut sosial yang melekat dalam diri individu baik
jabatan, nama baik ataupun yang lainnya.
Di dalam buku “TJ”, John Rawls
mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat
politik dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip
persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi
kontrak sosial (social contract) yang
pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean
Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak
yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan
cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat
utilitarianistik dan intuisionistik.
Dalam hal ini, kaum utilitaris
mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat dapat
memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat bahwa
keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi,
menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,
khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara
pandang Rawls sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
Secara spesifik, Rawls mengembangkan
gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep
ciptaannya yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada
umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak
terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk
memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam
masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat
kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang
tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
Kondisi demikianlah yang dimaksud
oleh Rawls sebagai “posisi asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut
sebenarnya hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai
“pandangan tidak darimanapun (the view
from nowhere), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi yang sangat
abstrak dari “the State of Nature”.
Sementara itu, konsep “selubung
ketidaktahuan” diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada
tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk
terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep
atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua teori
tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan
yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai
“justice as fairness”.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak
di dalam posisi asali masing-masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama.
Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar
yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang
lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga:
(a) diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling
tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi
semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Prinsip pertama tersebut dikenal
dengan “prinsip kebebasan yang sama” (equal
liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan
berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom
of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua bagian (a) disebut
dengan “prinsip perbedaan” (difference
principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan
kesempatan” (equal opportunity principle).
“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang
dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan
kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang
terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas
kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas
tersebut. Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya
perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai
suatu nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama
memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua
berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian
dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat
bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung
(the least advantage).
DONALD BLACK ( TEORI EMPIRIS )
Hukum
dapat diamati secara eksternal hukum, dengan mengumpulkan berbagai data dari
luar hukum, yang disebut dengan perilaku hukum (behavior of law), sehingga
dapat memunculkan dalil-dalil tertentu tentang hukum
Langganan:
Postingan (Atom)