Sabtu, 16 November 2013

Hukum Pembiayaan Dan Jaminan









TEORI-TEORI HUKUM MENURUT PARA AHLI


TEORI – TEORI SOSIOLOGI HUKUM MENURUT PARA AHLI

HANS KALSEN ( TEORI HUKUM MURNI )
Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen muncul setelah munculnya teori hukum kodrat, pemikiran tentang moral yang disebut "the Golden Rule", mazhab sejarah hukum, mazhab utilitarianisme hukum, mazhab sosiologi hukum, Analytical Jurisprudence dari Austin dan mazhab realisme hukum Amerika Serikat dan Skandinavia.
Teori Hukum Murni adalah suatu teori positivistik di bidang hukum dan merupakan kritik terhadap teori hukum kodrat, teori tradisional di bidang hukum, sosiologi hukum dan Analytical Jurisprudence. Teori Hukum Murni juga tidak sependapat dengan pemikiran realisme hukum Amerika Serikat. Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari relik-relik animisme yang menganggap alam sebagai legislator dan melepaskan hukum dari karakter ideologis menyangkut konsep keadilan dan atau value judgment.
Dalam kritiknya terhadap sosiologi hukum dan teori tradisional di bidang hukum, Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari bidang empiris, pertama-tama bidang poiltik, dan juga dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang dianut bidang politik. Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai norma pada tataran the Ought / das Sollen, yang terpisah dari bidang empiris, karena Austin mengajarkan bahwa hukum adalah perintah yang berada pads tataran the Is / das Seitz di bidang empiris.
Dengan demikian, Teori Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir non-hukum, seperti misalnya psikologi, sosiologi, etika ( filsafat moral ) dan politik. Pemurnian hukum dari anasir-anasir non-hukurn tersebut dilakukan dengan menggunakan filsafat neo-kantian mazhab Marburg sebagai daftar pemikirannya. Neo-kantianisme mazhab Marburg memisahkan secara tajam antara the Ought / das Sollen dengan the Is I das Sin, dan, antara bentuk ( Form ) dengan materi ( matter ). Sejalan dengan itu, Kelsen memisahkan secara tajam antara norma hukum pada tataran the Ought I das Sollen dengan bidang empiris pada tataran the Is / das Seitz, dan memisahkan secara tajam antara hukum formal dengan hukum materiil.
Teori Hukum Murni hanya mengakui hukum formal sebagai obyek kajian kognitif ilmu hukum, sedangkan hukum materiil tidak dicakupkan dalam bidang obyek kajian ilmu hukum, karena hukum materiil berisikan janji keadilan yang berada di bidang ideologis, yang pada tataran praktis dilaksanakan di bidang politik. Teori Hukum Murni memusatkan kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak "Grundnorm".
Oleh karena kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka Teori Hukum Mumi hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya teori tersebut mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek yuridis formal, Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis.
Karena hukum dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengadung kelemahan, stufentheory dalam Teori Hukum Murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem tata hukum. Teori Hukum Murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam suatu versi tersendiri, yang berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan mencegah anarkisme murni pada sisi lain.




P.NONET & P. SELZINCK ( HUKUM RESPONSIVE )
P. Nonet dan P. Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu:
ü  Hukum Represif, hukum sebagai pelayan kekuasaan represif
ü  Hukum Otonom, hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya
ü  Hukum Responsif hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial
Pemikiran hukum progresif menurut saya tak lepas dari munculnya hukum responsive yang dicetuskan nonet dan selznick. Hukum progresif lahir hingga melampaui eksistensi hukum positif (hukum yang berlaku saat ini), sosiologi hukum, realisme hukum, dan seterusnya. Pemikiran humanistik dan mekanistik (sistem) disatukan dengan jernih oleh Satjipto Rahardjo dalam mengkonsepsikan hukum. Latar belakang Prof Tjip sebagai begawan hukum yang mengedepankan ide sosiologi hukum dalam setiap pemikirannya. Penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Berbeda dengan teori murni hans kelsen yang menghilangkan anasir non hukum dalam kajian hukum. Bahkan hukum harus bebas dari anasir sosial maupun politik yang kerap kali menyelimuti setiap produk hukum.
Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu hendaklah kita berusaha untuk mewujudkan ide serta gagasan progresif mengenai hukum ini. Hukum dibuat untuk kebahagiaan manusia dan manusia tidak hidup untuk mematuhi hukum.


ROBERT SEIDMAN ( THE LAW OF THE NON TRANSFERABILITY OF Law )
Teori Robert Seidman tentang “the Law of the non transferability of law” ( hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya ). Jadi menurut Seidman, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan, kita tidak dapat begitu saja mentransfer hukum asing ke dalam masyarakat kita untuk langsung diberlakukan. Mungkin saja perangkat hukum asing itu efektif di masyarakatnya sendiri, karena antara perangkat hukum asing itu dengan kebutuhan masyarakatnya sudah selaras, antara hukum dengan pemikiran warga masyarakatnya serasi, namun belum tentu cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain, yang berbeda perangkat sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda stratifikasi sosialnya, berbeda taraf pemikiran warga masyarakatnya. Bekerjanya Hukum menurut R. Seidman, antara lain :
1.    Setiap peraturan  memberitahu  bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan  merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan komplek sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
2.    Bagaiman lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenali diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan.
3.    Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatan sosia, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.
      LAWRENCE FRIEDMAN ( TRIANGULAR LEGAL SYSTEM )
            Menurut Lawrence M. Friedman dalam buku Dasar-Dasar Sosiologi Hukum (Sabian Utsman,2009:356) ada tiga elemen penting yang dapat menentukan berfungsinya suatu hukum yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur hukum yang baik akan berjalan dengan baik apabila didukung dengan substansi hukum yang baik, begitu pula sebaliknya. Kedua elemen tersebut akan berjalan baik apabila diikuti budaya hukum yang baik dari masyarakat. Jika budaya hukum dari masyarakat tidak dapat mendukung kedua elemen tersebut maka tidak ada artinya. Substansi hukum meliputi : aturan, norma, & pola perilaku (hukum yang tertulis & hukum yang berlaku – hidup dalam masyarakat).
            Menurut Lawrence, tiga elemen penting yang menentukan berfungsi atau tidaknya hukum antara lain :
1.    Struktur Hukum meliputi : tatanan daripada elemen lembaga hukum (kerangka organisasi & tingkatan dr lembaga kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pemasyarakatan, kepengacaraan).
2.    Budaya hukum meliputi : nilai-nilai, norma-norma & lembaga-lembaga yg menjadi dasar daripada sikap perilaku hamba hukum.
3.    substansi hukum meliputi : peraturan - peraturan atau regulasi yang di buat oleh lembaga yang berwenang.

JHON RAWLS ( THEORY OF JUSTICE )
            Teori Keadilan (John Rawls,2006:15) menyebutkan salah satu bentuk keadilan sebagai fairness, yaitu memandang netral kepada semua pihak yang melanggar hukum. Dapat dipahami bahwa aparat penegak hukum harus bersikap netral kepada semuanya tanpa memandang atribut sosial yang melekat dalam diri individu baik jabatan, nama baik ataupun yang lainnya.
            Di dalam buku “TJ”, John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik dan intuisionistik.
            Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
            Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
            Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak darimanapun (the view from nowhere), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi yang sangat abstrak dari “the State of Nature”.
            Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.
            Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
            Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan yang sama” (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan” (difference principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan kesempatan” (equal opportunity principle). “Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage).

DONALD BLACK ( TEORI EMPIRIS )
Hukum dapat diamati secara eksternal hukum, dengan mengumpulkan berbagai data dari luar hukum, yang disebut dengan perilaku hukum (behavior of law), sehingga dapat memunculkan dalil-dalil tertentu tentang hukum


Rabu, 16 Oktober 2013

RUNTUHNYA UUD 2002, TUMBANGNYA SALAH SATU PILAR



Keruntuhan Konstitusi 2002

Akibat ditangkapnya ketua Mahkamah Konstistusi (MK) oleh KPK pada tanggal 2 Oktober 2013 yang lalu di Jakarta membuat berbagai kalangan mempertanyakan dan bahkan menggugat keberadaan MK. Pasalnya MK sebagai lembaga tinggi Negara yang secara tidak langsung juga sebagai lembaga ter-tinggi Negara karena pertemuan tiga kekuasaan (eksekutif, legislative, yudikatif) ada pada lembaga ini. Vitalnya MK dalam sebuah Negara demokrasi seperti Indonesia saat ini (NRI berdasar UUD 2002) menjadi ujung tombak dari supremasi hukum serta simbol dari trias politica. Dalam posisi tersebut MK juga merupakan lembaga “check and balances council” karena menjadi interseksi dari tiga lembaga. Peranan mutlak MK sebagai lembaga yang berhak menafsirkan konstitusi membuat para hakimnya menyandang sebutan “manusia setengah dewa”. Keistimewaan-keistiwaan MK tersebut telah diatur oleh UUD Amandemen (UUD 2002) dalam pasal 24 C serta UU. No 24 tahun 2003 jo UU. No 8 tahun 2011 baik secara eksplisit maupun implisit.
Pada sebuah acara dialog di salah satu stasiun televisi swasta, yang membahas permasalahan korupsi dalam tubuh MK sempat melambung wacana pembubaran MK atau paling tidak memotong beberapa wewenang MK. Acara yang bertema “Runtuhnya Benteng Konstitusi” itu dihadiri oleh para politisi senayan dan akademisi. Pengamat kebangsaan Irman Putra Shidin dalam acara itu menegaskan “Jika publik tidak percaya pada parpol tinggal cari parpol lain, karena parpol ada banyak, tetapi jika publik tidak percaya pada MK itu bahaya karena MK hanya satu-satunya”. Suatu Negara dalam kondisi seperti ini sebenarnya keadaan bahaya. Karena kedaulatan tertinggi di Negara ini berada di tangan rakyat. Dan ketika rakyat sudak tidak percaya terhadap lembaga negaranya baik dalam sistem yang digunakan maupun orang-orangnya maka kepada siapa lagi sistem dan lembaga-lembaga itu mendapat legitimasi? Pertanyaan-pertanyaan itu pun turut dilontarkan di acara itu dan langsung dikaitkan dengan masalah pilkada dan politik uang. Dari pengkaitan itu akhirnya berbuah pada diseretnya ketua MK yang juga sebagai orang partai yang disinyalir menerima penyuapan terkait masalah pilkada.
Bony Hargens menambahkan “bahwa kesalahan yang terjadi merupakan kesalahan kolektif dari seluruh lembaga Negara termasuk Presiden dan DPR yang turut menyeleksi calon hakim agung”. Salah-menyalahkan sampai dengan menyinggung pengkaderan partai tempat dimana Akil Mochtar berasal pun dibahas di forum itu. Akan tetapi kesimpulan yang didapat dari pembahasan itu sangat mengambang dan justru membuat publik semakin bingung. Padahal beberapa “clue” sudah sempat disinggung dari permasalahan konstitusi sampai dengan sistem itu bergerak dalam roda pemerintahan. Menurut Ferdinand Lassale, konstitusi secara pengertian yuridis merupakan suatu naskah yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan. Jadi bila perjalanan roda pemerintahan dengan mengemban suatu misi penegakan hukum berjalan dengan buruk maka hanya ada dua penyebab.
Pertama, kesalahan pada sistem yang digunakan. Karena jika kita lihat secara pengertian, bahwa sistem merupakan seperangkat elemen yang digabungkan untuk mencapai suatu tujuan (Murdick dan Ross: 1993) maka sudah selayaknya suatu Negara juga seperti it. Sehingga dalam mekanisme berjalannya alur sistem itu terdapat input, proses, dan output. Serta dibutuhkan suatu mekanisme kontrol atau feed back untuk pengujian apakah output yang dihasilkan sudah sesuai atau mendekati tujuan. Dalam sistem hukum pun tidak dapat terlepas dari logika tersebut. Seperangkat aturan akan terlihat modelnya dalam rangkaian mekanisme sistem yang terdiri dari elemen-elemnnya. Jika elemen-elemen itu tidak berjalan semestinya
atau tidak pernah mencapai tujuan yang ditetapkan berarti seperangkat aturan tadi terdapat kesalahan prosedural dalam mengatur hubungan antara elemen-elemnnya.
Kedua, kesalahan tidak dapat terlaepas daripada manusianya sebagai operator dari sebuah sistem. Sebaik-baiknya sistem jika yang menggunakan bukan orang yang ahli atau paham terhadap sistem tersebut maka pencapaian dari tujuan yang telah ditetapkan semakin jauh. Adapun antara sistem dan manusia saling berkaitan seperti halnya api dan air yang mengandung hukum kausalitas.
Sistem dapat membentuk karakter dan tingkah laku manusia. Tergantung pada peraturan yang mengatur elemen-elemen itu. Jika baik maka baik pula karakter manusianya tetapi jika buruk maka buruk pula manusia itu. Hipotesis ini bisa kita kaitkan dari pernyataan Bony Hargens yang menyebutkan “kesalahan kolektif” dalam permasalahan korupsi di MK. Ada indikasi bahwa peraturan itu membuka peluang untuk adanya kesalahan bersama atau lebih tegasnya mekanisme siapa mengawas siapa?
Sejak UUD 1945 di amandemen, sirkulasi pengawasan antara lembaga Negara menjadi semerawut. Tidak adanya lembaga tertinggi Negara (seperti MPR dahulu) sebagai pengawas mutlak dan tempat memberi mandat kepada lembaga-lembaga Negara yang berada di bawahnya (eksekutif, legislative, dan yudikatif) membuat masing-masing lembaga dapat menafsirkan sendiri makna konstitusi. Dan dari fenomena itu kemudian digagaslah suatu lembaga superior sebagai pertemuan ketiga lembaga. Dimana lembaga itu terdiri dari 9 hakim agung yang diajukan 3 dari Presiden, 3 dari DPR, dan 3 dari MA (Pasal 18 UU no 24 tahun 2003). Sehingga terpenuhilah unsur trias politica dan check and balances dalam sebuah Negara demokrasi.
Alhasil dari komposisi itu, MK menjadi lembaga yang sarat dengan keputusan yang bernuansa politik meskipun berada dalam ranah hukum. Dan segala keputusannya bersifat final dan tidak boleh diganggu-gugat. Absolutnya lembaga ini pun dibuktikan dengan adanya wewenang pengujian undang-undang terhadap UUD. Sehingga secara implisit UUD Amandemen yang tidak memiliki bab penjelasan itu hanya dapat ditafsirkan oleh MK. Kemudian bergulir lagi pertanyaan siapakah yang mengawasi MK ? Mantan hakim MK Maruarar Siahaan menjawab “pengawasan internal MK cukup untuk mengawasi para hakim dan tidak perlu memberikan kewenangan kapada KY untuk melakukan pengawasan, Saya rasa dengan adanya OTT ini, itu sudah pengawasan yang cukup tinggi, tidak perlu pengawasan bentuk lain tapi memang bahwa masyarakat yang mengawasi kalau ada penyimpang-penyimpangan etik. Misalnya dia bisa membuat surat kepada MK yang nantinya (ditindaklanjuti) majelis kehormatan,” kata Maruarar (tribun.news).
Apapun mekanisme tentang hubungan internal MK dan hubungan eksternalnya baik dengan lembaga negara lainnya maupun masyarakat luas akan mengkerucut pada tujuan hukum itu sendiri. Jika mekanisme itu semakin menjauhkan terhadap tujuan hukum Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 berarti pertama-tama kita kroscek adalah batang tubuh UUD yang telah berubah sejak tahun 2002. Dan dengan adanya fenomena penangkapan ketua MK beserta kinerjanya selama ini yang tidak memberikan output terhadap tujuan berbangsa dan bernegara telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Suatu hal yang tidak mungkin jika lembaga ini dibubarkan, karena konstitusi mangamanatkan bahwa lembaga ini harus ada. Akan tetapi ketika lembaga ini memiliki fungsi sebagai “benteng konstitusi” dan namanya telah tercoreng karena praktik korupsi, maka essensinya dapat dikatakan bahwa konstitusi 2002 telah mengalami kegagalan dan diambang keruntuhan. Karena temboknya telah mengalami keruntuhan dalam bentuk ketidakpercayaan publik
By agus salim tidore