Agus Salim Tidore
kode etik
Sabtu, 16 November 2013
TEORI-TEORI HUKUM MENURUT PARA AHLI
TEORI
– TEORI SOSIOLOGI HUKUM MENURUT PARA AHLI
HANS
KALSEN ( TEORI HUKUM MURNI )
Teori Hukum Murni dari
Hans Kelsen muncul setelah munculnya teori hukum kodrat, pemikiran tentang
moral yang disebut "the Golden Rule", mazhab sejarah hukum, mazhab
utilitarianisme hukum, mazhab sosiologi hukum, Analytical Jurisprudence dari Austin
dan mazhab realisme hukum Amerika Serikat dan Skandinavia.
Teori Hukum Murni adalah
suatu teori positivistik di bidang hukum dan merupakan kritik terhadap teori
hukum kodrat, teori tradisional di bidang hukum, sosiologi hukum dan Analytical
Jurisprudence. Teori Hukum Murni juga tidak sependapat dengan pemikiran
realisme hukum Amerika Serikat. Teori Hukum Murni melepaskan hukum dari
relik-relik animisme yang menganggap alam sebagai legislator dan melepaskan
hukum dari karakter ideologis menyangkut konsep keadilan dan atau value
judgment.
Dalam kritiknya terhadap
sosiologi hukum dan teori tradisional di bidang hukum, Teori Hukum Murni
melepaskan hukum dari bidang empiris, pertama-tama bidang poiltik, dan juga
dari karakter ideologis menyangkut value judgment dan konsep keadilan yang
dianut bidang politik. Teori Hukum Murni memandang hukum sebagai norma pada
tataran the Ought / das Sollen, yang terpisah dari bidang empiris, karena
Austin mengajarkan bahwa hukum adalah perintah yang berada pads tataran the Is
/ das Seitz di bidang empiris.
Dengan demikian, Teori
Hukum Murni membebaskan hukum dari anasir-anasir non-hukum, seperti misalnya
psikologi, sosiologi, etika ( filsafat moral ) dan politik. Pemurnian hukum
dari anasir-anasir non-hukurn tersebut dilakukan dengan menggunakan filsafat
neo-kantian mazhab Marburg sebagai daftar pemikirannya. Neo-kantianisme mazhab
Marburg memisahkan secara tajam antara the Ought / das Sollen dengan the Is I
das Sin, dan, antara bentuk ( Form ) dengan materi ( matter ). Sejalan dengan itu,
Kelsen memisahkan secara tajam antara norma hukum pada tataran the Ought I das
Sollen dengan bidang empiris pada tataran the Is / das Seitz, dan memisahkan
secara tajam antara hukum formal dengan hukum materiil.
Teori Hukum Murni hanya
mengakui hukum formal sebagai obyek kajian kognitif ilmu hukum, sedangkan hukum
materiil tidak dicakupkan dalam bidang obyek kajian ilmu hukum, karena hukum
materiil berisikan janji keadilan yang berada di bidang ideologis, yang pada
tataran praktis dilaksanakan di bidang politik. Teori Hukum Murni memusatkan
kajiannya hanya pada hukum formal berdasarkan keabsahannya, yang membentuk
suatu sistem hierarki norma hukum dengan puncak "Grundnorm".
Oleh karena kajiannya
hanya menyangkut hukum formal berdasarkan keabsahan, maka Teori Hukum Mumi
hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata, artinya teori tersebut
mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep
keadilan dan pertimbangan moral. Karena hanya menekankan pada aspek yuridis
formal, Teori Hukum Murni sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan
berlebihan bagi organ pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu
alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah diperlukannya pedoman dan/atau
pembatasan lebih rinci dalam penerapan norma hukum umum atau pembuatan norma
hukum kasuistis.
Karena hukum dipisahkan
dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau melanggar
kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum harus mengambil
pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengadung kelemahan, stufentheory dalam
Teori Hukum Murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem tata hukum. Teori
Hukum Murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam suatu versi
tersendiri, yang berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan
mencegah anarkisme murni pada sisi lain.
P.NONET &
P. SELZINCK ( HUKUM RESPONSIVE )
P. Nonet dan P. Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar
dari hukum dalam masyarakat, yaitu:
ü Hukum Represif,
hukum sebagai pelayan kekuasaan represif
ü Hukum Otonom,
hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya
ü Hukum Responsif
hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial
Pemikiran hukum
progresif menurut saya tak lepas dari munculnya hukum responsive yang
dicetuskan nonet dan selznick. Hukum progresif lahir hingga melampaui
eksistensi hukum positif (hukum yang berlaku saat ini), sosiologi hukum,
realisme hukum, dan seterusnya. Pemikiran humanistik dan mekanistik (sistem)
disatukan dengan jernih oleh Satjipto Rahardjo dalam mengkonsepsikan hukum.
Latar belakang Prof Tjip sebagai begawan hukum yang mengedepankan ide sosiologi
hukum dalam setiap pemikirannya. Penegakan hukum harus diperkaya dengan
ilmu-ilmu sosial. Berbeda dengan teori murni hans kelsen yang menghilangkan
anasir non hukum dalam kajian hukum. Bahkan hukum harus bebas dari anasir
sosial maupun politik yang kerap kali menyelimuti setiap produk hukum.
Produk hukum yang berkarakter
responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang
sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi
individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang
bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum
tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh
karena itu hendaklah kita berusaha untuk mewujudkan ide serta gagasan progresif
mengenai hukum ini. Hukum dibuat untuk kebahagiaan manusia dan manusia tidak
hidup untuk mematuhi hukum.
ROBERT SEIDMAN
( THE LAW OF THE NON TRANSFERABILITY OF Law )
Teori Robert Seidman tentang “the Law of the non transferability of law”
( hukum tidak dapat ditransfer begitu saja dari suatu masyarakat ke masyarakat
lainnya ). Jadi menurut Seidman, untuk menyesuaikan diri dengan perubahan,
kita tidak dapat begitu saja mentransfer hukum asing ke dalam masyarakat kita
untuk langsung diberlakukan. Mungkin saja perangkat hukum asing itu efektif di
masyarakatnya sendiri, karena antara perangkat hukum asing itu dengan kebutuhan
masyarakatnya sudah selaras, antara hukum dengan pemikiran warga masyarakatnya
serasi, namun belum tentu cocok untuk diterapkan pada masyarakat lain, yang
berbeda perangkat sosialnya, berbeda nilai-nilai sosial yang dianutnya, berbeda
stratifikasi sosialnya, berbeda taraf pemikiran warga masyarakatnya. Bekerjanya Hukum menurut R. Seidman, antara lain :
1. Setiap
peraturan memberitahu bagaimana seorang pemegang peranan (role
occupant) itu diharapkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak
sebagai respons terhadap peraturan
merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya,
sanksi-sanksinya, aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan
komplek sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
2. Bagaiman
lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan
hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka,
sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan
lain-lainnya yang mengenali diri mereka serta umpan balik yang datang dari
pemegang peranan.
3. Bagaimana
para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan komplek kekuatan sosia, politik, ideologis dan lain-lainnya yang
mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta
birokrasi.
LAWRENCE
FRIEDMAN ( TRIANGULAR LEGAL SYSTEM )
Menurut
Lawrence M. Friedman dalam buku Dasar-Dasar Sosiologi Hukum (Sabian
Utsman,2009:356) ada tiga elemen penting yang dapat menentukan berfungsinya
suatu hukum yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum. Struktur hukum yang
baik akan berjalan dengan baik apabila didukung dengan substansi hukum yang
baik, begitu pula sebaliknya. Kedua elemen tersebut akan berjalan baik apabila
diikuti budaya hukum yang baik dari masyarakat. Jika budaya hukum dari
masyarakat tidak dapat mendukung kedua elemen tersebut maka tidak ada artinya.
Substansi hukum meliputi : aturan, norma, & pola perilaku (hukum yang
tertulis & hukum yang berlaku – hidup dalam masyarakat).
Menurut
Lawrence, tiga elemen penting yang menentukan berfungsi atau tidaknya hukum
antara lain :
1.
Struktur Hukum meliputi : tatanan daripada elemen lembaga
hukum (kerangka organisasi & tingkatan dr lembaga kepolisian, kejaksaan,
kehakiman, pemasyarakatan, kepengacaraan).
2.
Budaya hukum meliputi : nilai-nilai, norma-norma &
lembaga-lembaga yg menjadi dasar daripada sikap perilaku hamba hukum.
3.
substansi hukum meliputi : peraturan - peraturan atau
regulasi yang di buat oleh lembaga yang berwenang.
JHON RAWLS (
THEORY OF JUSTICE )
Teori Keadilan (John Rawls,2006:15)
menyebutkan salah satu bentuk keadilan sebagai fairness, yaitu memandang netral kepada semua pihak yang melanggar
hukum. Dapat dipahami bahwa aparat penegak hukum harus bersikap netral kepada
semuanya tanpa memandang atribut sosial yang melekat dalam diri individu baik
jabatan, nama baik ataupun yang lainnya.
Di dalam buku “TJ”, John Rawls
mencoba untuk menganalisa kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat
politik dengan merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip
persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi
kontrak sosial (social contract) yang
pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean
Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak
yang dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan
cenderung untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat
utilitarianistik dan intuisionistik.
Dalam hal ini, kaum utilitaris
mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat dapat
memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls berpendapat bahwa
keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi,
menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,
khususnya masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara
pandang Rawls sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.
Secara spesifik, Rawls mengembangkan
gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep
ciptaannya yang dikenal dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Sebagaimana pada
umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki suatu hipotesis dan tidak
terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan. Dirinya berusaha untuk
memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam
masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat
kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-orang
tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
Kondisi demikianlah yang dimaksud
oleh Rawls sebagai “posisi asali” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society). Hipotesa Rawls yang tanpa rekam historis tersebut
sebenarnya hampir serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Thomas Nagel sebagai
“pandangan tidak darimanapun (the view
from nowhere), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi yang sangat
abstrak dari “the State of Nature”.
Sementara itu, konsep “selubung
ketidaktahuan” diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada
tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk
terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep
atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Melalui dua teori
tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan
yang adil. Itulah sebabnya mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai
“justice as fairness”.
Rawls menjelaskan bahwa para pihak
di dalam posisi asali masing-masing akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama.
Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar
yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang
lain. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga:
(a) diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling
tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi
semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Prinsip pertama tersebut dikenal
dengan “prinsip kebebasan yang sama” (equal
liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan
berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom
of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion). Sedangkan prinsip kedua bagian (a) disebut
dengan “prinsip perbedaan” (difference
principle) dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan
kesempatan” (equal opportunity principle).
“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang
dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan
kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang
terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas
kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas
tersebut. Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya
perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai
suatu nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu, prinsip pertama
memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar, sementara pada prinsip kedua
berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian
dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat
bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung
(the least advantage).
DONALD BLACK ( TEORI EMPIRIS )
Hukum
dapat diamati secara eksternal hukum, dengan mengumpulkan berbagai data dari
luar hukum, yang disebut dengan perilaku hukum (behavior of law), sehingga
dapat memunculkan dalil-dalil tertentu tentang hukum
Rabu, 16 Oktober 2013
RUNTUHNYA UUD 2002, TUMBANGNYA SALAH SATU PILAR
Keruntuhan Konstitusi 2002
Akibat ditangkapnya ketua Mahkamah Konstistusi (MK)
oleh KPK pada tanggal 2 Oktober 2013 yang lalu di Jakarta membuat berbagai
kalangan mempertanyakan dan bahkan menggugat keberadaan MK. Pasalnya MK sebagai
lembaga tinggi Negara yang secara tidak langsung juga sebagai lembaga
ter-tinggi Negara karena pertemuan tiga kekuasaan (eksekutif, legislative,
yudikatif) ada pada lembaga ini. Vitalnya MK dalam sebuah Negara demokrasi seperti
Indonesia saat ini (NRI berdasar UUD 2002) menjadi ujung tombak dari supremasi
hukum serta simbol dari trias politica. Dalam posisi tersebut MK juga merupakan
lembaga “check and balances council” karena menjadi interseksi dari tiga
lembaga. Peranan mutlak MK sebagai lembaga yang berhak menafsirkan konstitusi
membuat para hakimnya menyandang sebutan “manusia setengah dewa”.
Keistimewaan-keistiwaan MK tersebut telah diatur oleh UUD Amandemen (UUD 2002)
dalam pasal 24 C serta UU. No 24 tahun 2003 jo UU. No 8 tahun 2011 baik secara
eksplisit maupun implisit.
Pada sebuah acara dialog di salah satu stasiun televisi swasta, yang membahas permasalahan korupsi dalam tubuh MK sempat melambung wacana pembubaran MK atau paling tidak memotong beberapa wewenang MK. Acara yang bertema “Runtuhnya Benteng Konstitusi” itu dihadiri oleh para politisi senayan dan akademisi. Pengamat kebangsaan Irman Putra Shidin dalam acara itu menegaskan “Jika publik tidak percaya pada parpol tinggal cari parpol lain, karena parpol ada banyak, tetapi jika publik tidak percaya pada MK itu bahaya karena MK hanya satu-satunya”. Suatu Negara dalam kondisi seperti ini sebenarnya keadaan bahaya. Karena kedaulatan tertinggi di Negara ini berada di tangan rakyat. Dan ketika rakyat sudak tidak percaya terhadap lembaga negaranya baik dalam sistem yang digunakan maupun orang-orangnya maka kepada siapa lagi sistem dan lembaga-lembaga itu mendapat legitimasi? Pertanyaan-pertanyaan itu pun turut dilontarkan di acara itu dan langsung dikaitkan dengan masalah pilkada dan politik uang. Dari pengkaitan itu akhirnya berbuah pada diseretnya ketua MK yang juga sebagai orang partai yang disinyalir menerima penyuapan terkait masalah pilkada.
Pada sebuah acara dialog di salah satu stasiun televisi swasta, yang membahas permasalahan korupsi dalam tubuh MK sempat melambung wacana pembubaran MK atau paling tidak memotong beberapa wewenang MK. Acara yang bertema “Runtuhnya Benteng Konstitusi” itu dihadiri oleh para politisi senayan dan akademisi. Pengamat kebangsaan Irman Putra Shidin dalam acara itu menegaskan “Jika publik tidak percaya pada parpol tinggal cari parpol lain, karena parpol ada banyak, tetapi jika publik tidak percaya pada MK itu bahaya karena MK hanya satu-satunya”. Suatu Negara dalam kondisi seperti ini sebenarnya keadaan bahaya. Karena kedaulatan tertinggi di Negara ini berada di tangan rakyat. Dan ketika rakyat sudak tidak percaya terhadap lembaga negaranya baik dalam sistem yang digunakan maupun orang-orangnya maka kepada siapa lagi sistem dan lembaga-lembaga itu mendapat legitimasi? Pertanyaan-pertanyaan itu pun turut dilontarkan di acara itu dan langsung dikaitkan dengan masalah pilkada dan politik uang. Dari pengkaitan itu akhirnya berbuah pada diseretnya ketua MK yang juga sebagai orang partai yang disinyalir menerima penyuapan terkait masalah pilkada.
Bony Hargens menambahkan “bahwa
kesalahan yang terjadi merupakan kesalahan kolektif dari seluruh lembaga Negara
termasuk Presiden dan DPR yang turut menyeleksi calon hakim agung”.
Salah-menyalahkan sampai dengan menyinggung pengkaderan partai tempat dimana
Akil Mochtar berasal pun dibahas di forum itu. Akan tetapi kesimpulan yang
didapat dari pembahasan itu sangat mengambang dan justru membuat publik semakin
bingung. Padahal beberapa “clue” sudah sempat disinggung dari permasalahan
konstitusi sampai dengan sistem itu bergerak dalam roda pemerintahan. Menurut
Ferdinand Lassale, konstitusi secara pengertian yuridis merupakan suatu naskah
yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan. Jadi bila
perjalanan roda pemerintahan dengan mengemban suatu misi penegakan hukum
berjalan dengan buruk maka hanya ada dua penyebab.
Pertama, kesalahan pada sistem
yang digunakan. Karena jika kita lihat secara pengertian, bahwa sistem
merupakan seperangkat elemen yang digabungkan untuk mencapai suatu tujuan
(Murdick dan Ross: 1993) maka sudah selayaknya suatu Negara juga seperti it. Sehingga
dalam mekanisme berjalannya alur sistem itu terdapat input, proses, dan output.
Serta dibutuhkan suatu mekanisme kontrol atau feed back untuk pengujian apakah
output yang dihasilkan sudah sesuai atau mendekati tujuan. Dalam sistem hukum
pun tidak dapat terlepas dari logika tersebut. Seperangkat aturan akan terlihat
modelnya dalam rangkaian mekanisme sistem yang terdiri dari elemen-elemnnya.
Jika elemen-elemen itu tidak berjalan semestinya
atau tidak pernah mencapai tujuan yang ditetapkan berarti seperangkat aturan tadi terdapat kesalahan prosedural dalam mengatur hubungan antara elemen-elemnnya.
atau tidak pernah mencapai tujuan yang ditetapkan berarti seperangkat aturan tadi terdapat kesalahan prosedural dalam mengatur hubungan antara elemen-elemnnya.
Kedua, kesalahan tidak dapat
terlaepas daripada manusianya sebagai operator dari sebuah sistem.
Sebaik-baiknya sistem jika yang menggunakan bukan orang yang ahli atau paham
terhadap sistem tersebut maka pencapaian dari tujuan yang telah ditetapkan
semakin jauh. Adapun antara sistem dan manusia saling berkaitan seperti halnya
api dan air yang mengandung hukum kausalitas.
Sistem dapat membentuk karakter
dan tingkah laku manusia. Tergantung pada peraturan yang mengatur elemen-elemen
itu. Jika baik maka baik pula karakter manusianya tetapi jika buruk maka buruk
pula manusia itu. Hipotesis ini bisa kita kaitkan dari pernyataan Bony Hargens
yang menyebutkan “kesalahan kolektif” dalam permasalahan korupsi di MK. Ada
indikasi bahwa peraturan itu membuka peluang untuk adanya kesalahan bersama
atau lebih tegasnya mekanisme siapa mengawas siapa?
Sejak UUD 1945 di amandemen,
sirkulasi pengawasan antara lembaga Negara menjadi semerawut. Tidak adanya
lembaga tertinggi Negara (seperti MPR dahulu) sebagai pengawas mutlak dan
tempat memberi mandat kepada lembaga-lembaga Negara yang berada di bawahnya
(eksekutif, legislative, dan yudikatif) membuat masing-masing lembaga dapat menafsirkan
sendiri makna konstitusi. Dan dari fenomena itu kemudian digagaslah suatu
lembaga superior sebagai pertemuan ketiga lembaga. Dimana lembaga itu terdiri
dari 9 hakim agung yang diajukan 3 dari Presiden, 3 dari DPR, dan 3 dari MA
(Pasal 18 UU no 24 tahun 2003). Sehingga terpenuhilah unsur trias politica dan
check and balances dalam sebuah Negara demokrasi.
Alhasil dari komposisi itu, MK
menjadi lembaga yang sarat dengan keputusan yang bernuansa politik meskipun
berada dalam ranah hukum. Dan segala keputusannya bersifat final dan tidak
boleh diganggu-gugat. Absolutnya lembaga ini pun dibuktikan dengan adanya
wewenang pengujian undang-undang terhadap UUD. Sehingga secara implisit UUD
Amandemen yang tidak memiliki bab penjelasan itu hanya dapat ditafsirkan oleh
MK. Kemudian bergulir lagi pertanyaan siapakah yang mengawasi MK ? Mantan hakim
MK Maruarar Siahaan menjawab “pengawasan internal MK cukup untuk mengawasi para
hakim dan tidak perlu memberikan kewenangan kapada KY untuk melakukan
pengawasan, Saya rasa dengan adanya OTT ini, itu sudah pengawasan yang cukup
tinggi, tidak perlu pengawasan bentuk lain tapi memang bahwa masyarakat yang
mengawasi kalau ada penyimpang-penyimpangan etik. Misalnya dia bisa membuat
surat kepada MK yang nantinya (ditindaklanjuti) majelis kehormatan,” kata
Maruarar (tribun.news).
Apapun mekanisme tentang hubungan internal MK dan hubungan eksternalnya baik dengan lembaga negara lainnya maupun masyarakat luas akan mengkerucut pada tujuan hukum itu sendiri. Jika mekanisme itu semakin menjauhkan terhadap tujuan hukum Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 berarti pertama-tama kita kroscek adalah batang tubuh UUD yang telah berubah sejak tahun 2002. Dan dengan adanya fenomena penangkapan ketua MK beserta kinerjanya selama ini yang tidak memberikan output terhadap tujuan berbangsa dan bernegara telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Suatu hal yang tidak mungkin jika lembaga ini dibubarkan, karena konstitusi mangamanatkan bahwa lembaga ini harus ada. Akan tetapi ketika lembaga ini memiliki fungsi sebagai “benteng konstitusi” dan namanya telah tercoreng karena praktik korupsi, maka essensinya dapat dikatakan bahwa konstitusi 2002 telah mengalami kegagalan dan diambang keruntuhan. Karena temboknya telah mengalami keruntuhan dalam bentuk ketidakpercayaan publik
Apapun mekanisme tentang hubungan internal MK dan hubungan eksternalnya baik dengan lembaga negara lainnya maupun masyarakat luas akan mengkerucut pada tujuan hukum itu sendiri. Jika mekanisme itu semakin menjauhkan terhadap tujuan hukum Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 berarti pertama-tama kita kroscek adalah batang tubuh UUD yang telah berubah sejak tahun 2002. Dan dengan adanya fenomena penangkapan ketua MK beserta kinerjanya selama ini yang tidak memberikan output terhadap tujuan berbangsa dan bernegara telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Suatu hal yang tidak mungkin jika lembaga ini dibubarkan, karena konstitusi mangamanatkan bahwa lembaga ini harus ada. Akan tetapi ketika lembaga ini memiliki fungsi sebagai “benteng konstitusi” dan namanya telah tercoreng karena praktik korupsi, maka essensinya dapat dikatakan bahwa konstitusi 2002 telah mengalami kegagalan dan diambang keruntuhan. Karena temboknya telah mengalami keruntuhan dalam bentuk ketidakpercayaan publik
By
agus salim tidore
Langganan:
Postingan (Atom)