Rabu, 16 Oktober 2013

RUNTUHNYA UUD 2002, TUMBANGNYA SALAH SATU PILAR



Keruntuhan Konstitusi 2002

Akibat ditangkapnya ketua Mahkamah Konstistusi (MK) oleh KPK pada tanggal 2 Oktober 2013 yang lalu di Jakarta membuat berbagai kalangan mempertanyakan dan bahkan menggugat keberadaan MK. Pasalnya MK sebagai lembaga tinggi Negara yang secara tidak langsung juga sebagai lembaga ter-tinggi Negara karena pertemuan tiga kekuasaan (eksekutif, legislative, yudikatif) ada pada lembaga ini. Vitalnya MK dalam sebuah Negara demokrasi seperti Indonesia saat ini (NRI berdasar UUD 2002) menjadi ujung tombak dari supremasi hukum serta simbol dari trias politica. Dalam posisi tersebut MK juga merupakan lembaga “check and balances council” karena menjadi interseksi dari tiga lembaga. Peranan mutlak MK sebagai lembaga yang berhak menafsirkan konstitusi membuat para hakimnya menyandang sebutan “manusia setengah dewa”. Keistimewaan-keistiwaan MK tersebut telah diatur oleh UUD Amandemen (UUD 2002) dalam pasal 24 C serta UU. No 24 tahun 2003 jo UU. No 8 tahun 2011 baik secara eksplisit maupun implisit.
Pada sebuah acara dialog di salah satu stasiun televisi swasta, yang membahas permasalahan korupsi dalam tubuh MK sempat melambung wacana pembubaran MK atau paling tidak memotong beberapa wewenang MK. Acara yang bertema “Runtuhnya Benteng Konstitusi” itu dihadiri oleh para politisi senayan dan akademisi. Pengamat kebangsaan Irman Putra Shidin dalam acara itu menegaskan “Jika publik tidak percaya pada parpol tinggal cari parpol lain, karena parpol ada banyak, tetapi jika publik tidak percaya pada MK itu bahaya karena MK hanya satu-satunya”. Suatu Negara dalam kondisi seperti ini sebenarnya keadaan bahaya. Karena kedaulatan tertinggi di Negara ini berada di tangan rakyat. Dan ketika rakyat sudak tidak percaya terhadap lembaga negaranya baik dalam sistem yang digunakan maupun orang-orangnya maka kepada siapa lagi sistem dan lembaga-lembaga itu mendapat legitimasi? Pertanyaan-pertanyaan itu pun turut dilontarkan di acara itu dan langsung dikaitkan dengan masalah pilkada dan politik uang. Dari pengkaitan itu akhirnya berbuah pada diseretnya ketua MK yang juga sebagai orang partai yang disinyalir menerima penyuapan terkait masalah pilkada.
Bony Hargens menambahkan “bahwa kesalahan yang terjadi merupakan kesalahan kolektif dari seluruh lembaga Negara termasuk Presiden dan DPR yang turut menyeleksi calon hakim agung”. Salah-menyalahkan sampai dengan menyinggung pengkaderan partai tempat dimana Akil Mochtar berasal pun dibahas di forum itu. Akan tetapi kesimpulan yang didapat dari pembahasan itu sangat mengambang dan justru membuat publik semakin bingung. Padahal beberapa “clue” sudah sempat disinggung dari permasalahan konstitusi sampai dengan sistem itu bergerak dalam roda pemerintahan. Menurut Ferdinand Lassale, konstitusi secara pengertian yuridis merupakan suatu naskah yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan. Jadi bila perjalanan roda pemerintahan dengan mengemban suatu misi penegakan hukum berjalan dengan buruk maka hanya ada dua penyebab.
Pertama, kesalahan pada sistem yang digunakan. Karena jika kita lihat secara pengertian, bahwa sistem merupakan seperangkat elemen yang digabungkan untuk mencapai suatu tujuan (Murdick dan Ross: 1993) maka sudah selayaknya suatu Negara juga seperti it. Sehingga dalam mekanisme berjalannya alur sistem itu terdapat input, proses, dan output. Serta dibutuhkan suatu mekanisme kontrol atau feed back untuk pengujian apakah output yang dihasilkan sudah sesuai atau mendekati tujuan. Dalam sistem hukum pun tidak dapat terlepas dari logika tersebut. Seperangkat aturan akan terlihat modelnya dalam rangkaian mekanisme sistem yang terdiri dari elemen-elemnnya. Jika elemen-elemen itu tidak berjalan semestinya
atau tidak pernah mencapai tujuan yang ditetapkan berarti seperangkat aturan tadi terdapat kesalahan prosedural dalam mengatur hubungan antara elemen-elemnnya.
Kedua, kesalahan tidak dapat terlaepas daripada manusianya sebagai operator dari sebuah sistem. Sebaik-baiknya sistem jika yang menggunakan bukan orang yang ahli atau paham terhadap sistem tersebut maka pencapaian dari tujuan yang telah ditetapkan semakin jauh. Adapun antara sistem dan manusia saling berkaitan seperti halnya api dan air yang mengandung hukum kausalitas.
Sistem dapat membentuk karakter dan tingkah laku manusia. Tergantung pada peraturan yang mengatur elemen-elemen itu. Jika baik maka baik pula karakter manusianya tetapi jika buruk maka buruk pula manusia itu. Hipotesis ini bisa kita kaitkan dari pernyataan Bony Hargens yang menyebutkan “kesalahan kolektif” dalam permasalahan korupsi di MK. Ada indikasi bahwa peraturan itu membuka peluang untuk adanya kesalahan bersama atau lebih tegasnya mekanisme siapa mengawas siapa?
Sejak UUD 1945 di amandemen, sirkulasi pengawasan antara lembaga Negara menjadi semerawut. Tidak adanya lembaga tertinggi Negara (seperti MPR dahulu) sebagai pengawas mutlak dan tempat memberi mandat kepada lembaga-lembaga Negara yang berada di bawahnya (eksekutif, legislative, dan yudikatif) membuat masing-masing lembaga dapat menafsirkan sendiri makna konstitusi. Dan dari fenomena itu kemudian digagaslah suatu lembaga superior sebagai pertemuan ketiga lembaga. Dimana lembaga itu terdiri dari 9 hakim agung yang diajukan 3 dari Presiden, 3 dari DPR, dan 3 dari MA (Pasal 18 UU no 24 tahun 2003). Sehingga terpenuhilah unsur trias politica dan check and balances dalam sebuah Negara demokrasi.
Alhasil dari komposisi itu, MK menjadi lembaga yang sarat dengan keputusan yang bernuansa politik meskipun berada dalam ranah hukum. Dan segala keputusannya bersifat final dan tidak boleh diganggu-gugat. Absolutnya lembaga ini pun dibuktikan dengan adanya wewenang pengujian undang-undang terhadap UUD. Sehingga secara implisit UUD Amandemen yang tidak memiliki bab penjelasan itu hanya dapat ditafsirkan oleh MK. Kemudian bergulir lagi pertanyaan siapakah yang mengawasi MK ? Mantan hakim MK Maruarar Siahaan menjawab “pengawasan internal MK cukup untuk mengawasi para hakim dan tidak perlu memberikan kewenangan kapada KY untuk melakukan pengawasan, Saya rasa dengan adanya OTT ini, itu sudah pengawasan yang cukup tinggi, tidak perlu pengawasan bentuk lain tapi memang bahwa masyarakat yang mengawasi kalau ada penyimpang-penyimpangan etik. Misalnya dia bisa membuat surat kepada MK yang nantinya (ditindaklanjuti) majelis kehormatan,” kata Maruarar (tribun.news).
Apapun mekanisme tentang hubungan internal MK dan hubungan eksternalnya baik dengan lembaga negara lainnya maupun masyarakat luas akan mengkerucut pada tujuan hukum itu sendiri. Jika mekanisme itu semakin menjauhkan terhadap tujuan hukum Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 berarti pertama-tama kita kroscek adalah batang tubuh UUD yang telah berubah sejak tahun 2002. Dan dengan adanya fenomena penangkapan ketua MK beserta kinerjanya selama ini yang tidak memberikan output terhadap tujuan berbangsa dan bernegara telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Suatu hal yang tidak mungkin jika lembaga ini dibubarkan, karena konstitusi mangamanatkan bahwa lembaga ini harus ada. Akan tetapi ketika lembaga ini memiliki fungsi sebagai “benteng konstitusi” dan namanya telah tercoreng karena praktik korupsi, maka essensinya dapat dikatakan bahwa konstitusi 2002 telah mengalami kegagalan dan diambang keruntuhan. Karena temboknya telah mengalami keruntuhan dalam bentuk ketidakpercayaan publik
By agus salim tidore

Tidak ada komentar:

Posting Komentar