Kamis, 16 Mei 2013

Kejahatan Korporasi



BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Korporasi sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana untuk mencegahnya
Banyak perusahaan sering, dengan sengaja bahkan berulang-ulang, mencemoohkan hukum; mereka melakukan tidakan yang melanggar hokum namun dengan mudah keluar dari tuntutan hokum
B.   RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan suatu masalah yaitu :
1.      Apa yang dimaksud dengan kejahatan Ekonomi
2.      Sebab-sebab adanya kejahatan Korporasi.
C.   TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan kejahatan Ekonomi.
2.      Mengetahui sebab-sebab adanya kejahatan Ekoonomi.
D.   MANFAAT
Hasil penulisan makalah diharapkan bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran Ilmu Kriminologi terkait Kejahatan Korporasi guna mengkaji lebih rinci tentang definisi kejahatan korporasi serta sebab-sebab munculnya kejahatan korporasi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   RUANG LINGKUP KEJAHATAN EKONOMI
Kejahatan ekonomi (economic crimes) secara umum dirumuskan sebagai kejahatan yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for economic motives). Kejahatan ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam arti luas. Secara yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat secara sempit sebagai tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7/Drt./ 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di samping itu kejahatan ekonomi juga dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di luar Undang-undang TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152).
Kegiatan di bidang perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang yang sangat luas dan saling terkait, antara lain dalam bidang usaha perdagangan, industri, dan perbankan. Pengertian dan ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing biasa disebut dengan istilah economic crimes , crime as business, business crime, abuse of economic power atau economic abuses (Barda Nawawi Arief, 1992 :148).
Dibandingkan dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih banyak tergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat. Dengan demikian sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis ataupun sistem gabungan masing-masing akan memiliki pengaturan tersendiri tentang apa yang dinamakan kejahatan ekonomi.
Berkaitan dengan tindak pidana ekonomi ini Muladi mengemukakan    bahwa yang paling mendasar adalah pemahaman bahwa tindak pidana di bidang perekonomian merupakan bagian dari hukum ekonomi yang berlaku di suatu bangsa, sedangkan hukum ekonomi yang berlaku di suatu negara tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa tersebut (1992 :13)
Kejahatan ekonomi mencakup pula kejahatan korporasi yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam dengan sanksi baik sanksi hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa “crime for corporations” atau “ corporate criminal”. Sedangkan “crimes against corporations” lebih bersifat kejahatan okupasional (occupational crime) untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan.
Dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas, illegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan sungguh-sungguh jahat tetapi lebih karena kesialan (unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang diharuskan (technical ommision). Perumusan tindak pidana cenderung akan dianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas bagi dunia bisnis sehingga dianggap sebagai over criminalization. Istilah White Collar Crime (WCC) sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”.

B.   KEJAHATAN EKONOMI SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME
Istilah WCC ini pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang bernama Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) di awal dekade 1940-an yang dikemukakan dalam suatu pidato tanggal 27 Desember 1939 pada The American Sociological Society di Philadelphia. Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul White Collar Crime pada Tahun 1949.
Sutherland merumuskan WCC sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by persons of respectability ang high social status in the course of their occupation). Istilah WCC memiliki pesan moral dan politik yang nampak dari dua elemen yaitu status pelaku (status of the offender) dan kedua, kejahatan tersebut berkaitan dengan karakter pekerjaan atau jabatan tertentu (the occupation of character of the offence). Dua elemen inilah yang membedakannya dari Blue Collar Crime. Dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime Sutherland menjelaskan bahwa istilah WCC ini terutama digunakan untuk menunjuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha dan pejabatpejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Ada beberapa pengelompokan WCC di antaranya adalah sebagai berikut :
pertama, WCC yang bersifat individual, berskala kecil dan modus operandi yang sederhana. Sebagai contoh di Indonesia adalah dalam kasus BLBI, di mana dana yang seharusnya diperuntukan bagi bank miliknya yang sedang kesulitan likuiditas justru untuk kepentingan pribadi. Kedua,.WCC yang bersifat individual, berskala besar dengan modus operandi yang kompleks. WCC seperti ini biasanya memakai pola yang sistematis dengan perencanaan dan pelaksanaan yang bisa memakan waktu yang cukup lama. Ini bisa dalam bentuk berbagai kolusi dengan ahli-ahli tertentu atau dengan orang dalam perusahaan tertentu. Ketiga,WCC yang melibatkan korporasi. Pelaku WCC adakalanya bukan individu tetapi sebuah korporasi sehingga kita mengenal istilah kejahatan korporasi (corporate crime). Dalam hal ini yang Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 44 diangap sebagai pelaku adalah korporasi, sehingga muncul teori-teori hukum yang memberikan justifikasi terhadap pemidanaan suatu korporasi. Sebagai contoh adalah perusahan Ford Motor Company yang pernah diproses pidana di pengadilan negara bagian Indiana Amerika Serikat karena dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan, karena sangat terlambat memperbaiki kesalahan dalam tangki bensin dari produk mobilnya yang bernama PINTO, sehingga banyak mobil meledak dan mematikan penumpangnya. Perusahaan enggan memperbaiki atau menarik mobil tersebut dari peredaran karena akan ada cost yang harus dikeluarkan sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan mobilnya itu. Konsekuensinya perusahaan tersebut didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan (corporate crime), meskipun hal tersebut pada akhirnya tidak terbukti di pengadilan. Keempat, WCC di sektor publik, suatu WCC juga dapat terjadi di sektor publik yaitu yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasan publik atau pejabat pemerintah, sehingga dikenal istilah kejahatan jabatan (occupational crime). Sebagai contoh adalah berbagai bentuk korupsi dan penyuapan sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik.
Salah satu model WCC di sektor publik adalah kolusi atau konspirasi antara penguasa dan pengusaha yang bisa meliputi berbagai bidang seperti administratif, litigasi, perbankan, dan sebagainya. Para pelaku perbuatan WCC ini sering disebut dengan istilah-istilah seperti White Collar Criminal, Criminaloids, Criminals of the Upper World, Educated Criminals. Menurut Edward Ross yang dimaksudkan dengan criminaloids adalah mereka yang melakukan praktik-praktik kriminal dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, tetapi kejahatannya belum disorot oleh publik. Yang menjadi kunci dari criminaloids bukanlah kehendak jahat dari pelaku melainkan moral mereka yang tidak sensitif. Para criminaloids ini bukanlah seperti penjahat jalanan, mereka ini adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan terhormat di masyarakat. Mereka ini biasanya menggunakan standar ganda, di satu sisi tampak sebagai orang yang selalu berbuat baik tetapi disisi lain menggunakan cara-cara yang tidak etis dalam menjalankan pekerjaan atau profesinya. Kejahatan Perbankan.
Kejahatan perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan WCC. Salah satu perumusan kejahatan perbankan menyebutkan kejahatan perbankan (banking crime) adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau imateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya (Munir Fuady, 2004: 74). Perumusan ini sangat luas sehingga kejahatan perbankan dalam konteks ini meliputi lalu-lintas giral; perizinan; rahasia bank; kejahatan oleh komisaris, direksi, atau pegawai bank; perkreditan; penipuan; penggelapan; pemalsuan. Demikian juga modus operandi yang digunakan bisa meliputi pemalsuan dokumen jaminan, barang jaminan untuk memperoleh kredit digunakan beberapa kali, mendapat beberapa kredit untuk proyek yang sama, mendapat kredit dengan Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta) jaminan fiktif, pemberian kredit atas proyek fiktif, penyimpangan dari perjanjian membuka kredit dan sebagainya.
Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokan sebagai tindak pidana yaitu sebagai berikut :tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya. Ada pula yang membagi kejahatan perbankan dalam kategori kejahatan fisik, kejahatan perbankan kategori ini sebenarnya merupakan kejahatan konvensional akan tetapi berhubungan dengan perbankan. Terhadap kejahatan ini berlaku sepenuhnya KUHP misalnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain. Kategori kedua, pelanggaran administrasi perbankan. Sebagai lembaga pelayanan publik, maka banyak ketentuan administratif yang harus dipenuhi oleh perbankan, bahkan sebagian di antaranya pelanggaran ketentuan administratif ini dianggap sebagai tindak pidana.Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Perbankan yang berlaku. Sebagai contoh adalah bank gelap, tidak memenuhi batas maksimum pemberian kredit dan sebagainya. Kategori ketiga kejahatan produk bank, produk bank sangat beragam, karena itu kejahatan yang berhubungan dengan produk bank juga beraneka ragam, demikian juga ketentuan hukumnya juga beraneka ragam yaitu KUHP, UU Perbankan, dan Undang-undang Khusus lainnya. Sebagai contoh adalah pemberian kredit secara tidak benar misalnya tanpa agunan atau agunan fiktif, pemalsuan warkat bank, pemalsuan kartu kredit, transfer uang kepada yang tidak berhak dan sebagainya. Kategori keempat yaitu kejahatan profesional perbankan yaitu kejahatan perbankan yang berkenaan dengan pelanggaran profesi sebagai bankir. Sebagian pelanggaran ini diatur di dalam Undang-undang yang berlaku, sebagian lainnya hanya merupakan pelanggaran moral yang diatur dalam Kode Etik Bankir Indonesia. Sebagai contoh adalah membuka rahasia bank, tidak melakukan prinsip know your customer sehingga meloloskan money laundering. Kategori kelima, Kejahatan Likuiditas Bank Sentral.Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia merupakan tempat meminjam terakhir (the lender of the last resort). Artinya jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas seperti kalah kliring atau terjadi rush nasabah, maka bank yang bersangkutan bisa meminjam uang sementara kepada Bank Indonesia. Hal ini pernah terjadi di tahun 1998 – 1999 di mana Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikenal dengan (BLBI) kepada sejumlah bank yang sakit, dengan harapan dapat sehat kembali. Namun ternyata banyak terjadi penyalahgunaan dana BLBI tersebut. Kategori keenam adalah pelanggaran moralitas. Selain kejahatan perbankan tersebut ada juga yang sifatnya masih dalam ruang lingkup etika perbankan..Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokkan sebagai tindak pidana yaitu tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 46 sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya.

C.   MONEY LAUNDERING (PENCUCIAN UANG)
Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang atau pemutihan uang. Kata money dalam money laundering diistilahkan secara beragam. Ada yang menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal money atau illicit money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam yaitu, uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap. Istilah money laundering sendiri sudah merupakan istilah yang lazim dipergunakan secara internasional.
Belum ada definisi yang komprehensif dan universal tentang money laundering, karena berbagai pihak seperti institusi investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri. Secara singkat money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana yang sah. Tidak mudah untuk membuktikan adanya money laundering karena kegiatannya sangat kompleks sekali. Para ahli menggolongkan proses money laundering ke dalam tiga tahap yaitu pertama, tahap placement yaitu menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan, menggabungkan uang tunai yang bersifat illegal dan uang yang diperoleh secara legal. Bisa juga dalam bentuk mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing. Kedua, tahap layering dengan cara pelapisan (layering). Tujuannya adalah untuk menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham dan sebagainya. Tahap selanjutnya adalah Integrasi, tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas yang untuk selanjutnya uang tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan yang legal. Dengan cara ini maka nampak bahwa kegiatan yang dilakukan kemudian seolah tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.

D.   RUMUSAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Undang-undang Pencucian Uang (UUPU) No. 15 Th. 2002 jo. UU No. 25 Th. 2003 merumuskan tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 3 yang (1) menyatakan sebagai berikut :
a.    Setiap orang yang menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta).
b.    Mentransfer Harta Kekayaan yang patut diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.    membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d.    menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e.    menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f.     membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g.    menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). Unsur pertama dari tindak pidana ini adalah setiap orang. Menurut Pasal 1 angka 2 UUPU yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi. Korporasi menurut Pasal 1 angka 3 UUPU adalah kumpulan orang dan/ atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan Harta Kekayaan menurut Pasal 1 angka 4 adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Karena dalam perumusan ditentukan bahwa tindak pidana pencucian uang hanya dilakukan dalam hal menyangkut Harta Kekayaan  yang diketahui atau diduga diketahui oleh pelaku merupakan hasil tindak pidana, maka juga harus diketahui mengenai batasan dari hasil tindak pidana. Pasal 2 UUPU merumuskan hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: korupsi; penyuapan; penyelundupan barang;- penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan imigran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang asuransi; narkotika; psikotropika;-perdagangan manusia;-perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme;-pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi;di bidang  perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan; atau-tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara RI atau di luar wilayah Negara RI dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Berdasarkan pada perumusan bahwa tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia maka Undang-undang Pencucian Uang dalam menentukan hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Persoalan yang muncul sehubungan dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah apakah tindak pidana asal (predicate crime) yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) itu harus sudah terbukti sebelumnya berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap? Jawabannya adalah Tidak, hal ini diketahui dari penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUPU yang menyatakan sebagai berikut : ”Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.” UUPU juga menganut asas pembuktian terbalik seperti tercantum dalam Pasal 35 yang menyatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Penjelasan Pasal tersebut menyatakan Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan Harta Kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam hal penuntutan tindak pidana pencucian uang, menurut Remy Syahdeini ada dua hal yang harus dicermati yaitu pertama, tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan yang dicuci itu tidak  perlu harus telah terbukti berdasarkan putusan hakim pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, baik putusan hakim pidana di dalam negeri atau di luar negeri. Alasannya adalah karena penjelasan Pasal 3 ayat (1) menentukan demikian dan juga karena berlakunya asas pembuktian terbalik berdasarkan ketentuan Pasal 35 No. 15 Th.2002.  Kedua, penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa Harta Kekayaan yang dicuci itu merupakan hasil tindak pidana yang berasal dari salah satu predicate crime yang ditentukan dalam Pasal 2, baik yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia” dan harus dapat membuktikan pula bahwa perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan oleh terdakwa “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.” Ancaman pidana bagi setiap orang yang mencoba, membantu, bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang adalah sama dengan pelaku. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2). Pasal 3 ayat (2) menyatakan :  Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Kriminalisasi lain adalah bagi Penyedia Jasa keuangan yang menerima penempatan atau yang melaksanakan transfer terhadap Harta Kekayaan tersebut dipidana berdasarkan Pasal 6 ayat (1) apabila :
a.    Penyedian Jasa Keuangan tersebut mengetahui atau patut menduga bahwa Harta Kekayaan yang ditempatkan atau ditransfer itu merupakan hasil tindak pidana (sesuai Pasal 6 ayat 1) dan,
b.    Penyedia Jasa Keuangan tersebut tidak melaksanakan kewajiban Pelaporan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (sesuai Pasal 6 `ayat 2).



















BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULANN
White collar crime sebagai suatu istilah yang menggambarkan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dalam pekerjannya, di sisi lain telah mematahkan anggapan masyarakat yang telah stereotipe bahwa sebab-sebab kejahatan adalah faktor-faktor patologis yang bersifat individual seperti kemiskinan, kebodohan dan sebagainya. Tegasnya apa yang disebut sebagai Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 52 kejahatan ternyata tidak hanya dilakukan oleh kalangan bawah, tetapi juga banyak dilakukan oleh lapisan masyarakat tingkat atas dengan beragam modus operandi. Ruang lingkup kejahatan ekonomi meliputi bidang yang sangat luas. Seperti kejahatan di bidang perbankan, money laundering, kejahatan komputer, kejahatan korporasi, dan lain-lain. Dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas, illegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Memiliki karakteristik khusus karena tergantung pada system ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat.
B.   SARAN
Pengaturan hukum pidana dalam kejahatan ekonomi harus memperhatikan berbagai kepentingan, jangan sampai menjadi over criminalization yang justru kontra produktif. Hukum pidana sebaiknya tetap dalam posisi ultimum remedium. Jika sarana di luar hukum pidana tidak memadai atau dianggap tidak memadai lagi barulah digunakan hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
__________Al. Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Univ. Atmajaya, Yogyakarta.
__________Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
__________Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
__________Munir Fuady, 2004, Bisnis Kotor (Anatomi Kejahatan Kerah Putih), Citra Aditya Bakti, Bandung.
__________N.H.T. Siahaan, 2005, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, edisi revisi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. J.E. Sahetapy, 1994, Kejahatan Korporasi, PT. Eresco, Bandung.
__________UU Pencucian Uang (UU No. 15 /2002 dan UU No. 25 /2003).

Kode Etik Kepolisian



BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Sejarah panjang telah membentuk kepolisian Indonesia yang menjadi polri pada saat ini. Tanpa mengurangi besarnya keberhasilan yang telah dicapai polisi, telah terbukti mampu menjadi salah satu pilar penegak keamanan yang mengantar pembangunan Bangsa dan Negara. Polisi terus berjuang keras, karena belum mampu menjawab tuntutan pelayanan masyarakat yang meningkat cepat sebagai hasil pembangunan, sedangkan kemampuan polisi nyaris tidak berkembang, celaan, cemoohan, tudingan bahwa polisi tidak professional.
Memang Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki polisi yang professional, efektif, efisien, dan modern. Tetepi kita semua tahu, kendalanya sangat banyak. Salah satu akar permasalah adalah adanya kecenderungan melemahnya penghayatan dan pengamalan Etika Kepolisian. Etika sendiri terbentuk dari endapan sejarah, budaya, kondisi social dan lingkungan dengan segala aspek dan prospeknya. Internalisasi dan penerapan Etika Kepolisian yang tidak mantap, merupakan factor penyebab kurang dalamnya pendalaman etika, sehingga polisi ditingkat pelaksanaan sangat labil, mudah goyah dan terombang-ambing dalam gelombang dan gegap gempitanya perubahan dalam pembangunan.

B.   TUJUAN
Tujuannya adalah berusaha meletakkan Etika Kepoloisian secara proposional dalm kitan dengan masyarakat. Sekaligus juga bagi polisi berusaha memberikan bekal keyakinan bahwa internalisasi Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, akan merupakan sarana untuk:
1.    Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang
polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
2.    Mencapai sukses penugasan
3.    Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat
4.    Mewujudkan polisi yang professional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.

C.   RUMUSAN MASALAH
1.    Sangsi-sangsi apa saja yang dapat di kenekan jika salah satu anggota kepolisian melanggar kode etik.?
2.    Apa tujuan dari kode etik itu.?
3.    Kenapa samapai salah satu anggota kepolisian melanggar kode etik.?
BAB II
PEMBAHASAN
A.   ETIKA DAN ETIKA PROFESI
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik.
Berikut ini merupakan pengertian etika profesi menurut para ahli:
1.    Drs. O.P. SIMORANGKIR, etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku  menurut ukuran dan nilai yang baik.
2.    Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
3.    Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
1.    Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yangmempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
2.    Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:
1.    Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The  principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2.    Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3.    Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4.    Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)

B.   ETIKA KEPOLISIAN
Pengertian
Etika adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia yang terkait dengan norma dan nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku pada masyarakat. Sedang pengertian kepolisian pada intinya adalah aparat penegak hukum yang bertanggung jawab atas ketertiban umum ,keselamatan dan keamanan masyarakat. Jadi Etika Kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.

APLIKASI
Manfaat etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakatnya. Etika kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik.
Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi seperti etika lainnya, walaupun usianya lebih tua. Hal itu disebabkan karena sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang dan berubah-ubah, sehingga isi dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam, antara Negara yang satu dengan yang lain. Sehingga dalam aplikasi, para pemikir dan pimpinan kepolisian sering melupakan beberapa ciri atau karakter pelaku polisi atau sering disebut budaya polisi (Police Cultura) yang dominant pengaruhnya terhadap kegagalan tindakannya. Kecendrunga itu antara lain:
1.    Orientasi tindakan sering mengutamakan pencapaian hasil optimal (efektifitas), sehingga sering mengabaikan efisiensi.
2.    Polisi diajar untuk selalu bersikap curiga, sehingga harus bertanya dengan detail. Sedangkan sikap curiga ini mengandung makna waspada dengan dasar pengertian etika.
3.    Disatu pihak polisi dinilai tidak adil, tidak jujur, tidak professional, di pihak lain banyak petunjuk bahwa polisi harus mendukung dan menunjukkan solidaritas pada lingkungan.
4.    Pragmatisme yang banyak mendatangkan keberhasilan, sering membuai polisi dan lalu melalaikan akar pragmatisme itu sendiri.
PENGEMBANGAN ETIKA KEPOLISIAN
Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik adalah dengan cara-cara sebagai berikut:
1.    Membangun masyarakat
Mewujudkan masyarakat yang mampu berbuat etis tidaklah mudah, karena harus memperhitungkan segenap unsur pendukung eksistensinya yang berdimensi sangat luas. Dengan mengasumsikan bahwa terdapat banyak dimensi prilaku masyarakat yang baik dan mendukung etika kepolisian dengan baik, maka dari banyak dimensi itu yang paling signifikan bagi pelaksanaan tugas polisi adalah berupa dimensi hokum, kepatuhan mereka kepada hokum dan sikap menolak gangguan keamanan atau pelanggaran hukum.
Dari hukum yang baik itulah, etika atau prilaku masyarakat yang terpuji dapat terbentuk, yang pada gilirannya akan mengembangkan aplikasi etika kepolisian.
MEMBENTUK POLISI YANG BAIK
Bibit-bibit atau calon polisi yang baik adalah dididik, dilatih, diperlengkapi dengan baik dan kesejahteraan yang memadai. Calon yang baik hanya dapat diperoleh dari masyarakat yang terdidik baik, persyaratan masuk berstandar tinggi, pengujian yang jujur dan fair (penuh keterbukaan), dan bakat yang memadai berdasarkan psikotes.
C.   KODE ETIK KEPOLISIAN MENURUT PARA AHLI
Prof.djoko Soetono, SH dalam pidatonya di Ploron dengan judul “Tri Brata, Mythos,Logos,Etos,Kepolisian Negara RI dan kalau di sarikan mengandung pokok-pokok pemikiran yang sejalan dengan pokok pikiran Don L.Kooken dalam bukunya “Ethis in PliceService” yang berpendapat bahwa Etika Kepolisian itu tidak mungkin dirumuskan secara universal semua dan berlaku sepanjang masa maka, rumusannya akan berbeda satu dengan yang lain. Namun suatu Kode Etik kepolisian yang baik adalah rumusan yang mengadung pokok pikiran sebagai berikut:
1.    Mengangkat kedudukan profesi kepolisian dalam pandangan masyarakat dan untuk memperkuat kepercayaan masyarakat kepada kepolisian.
2.    Mendorong semangat polisi agar lebih bertanggung jawab.
3.    Mengembangkan dan memelihara dukungan dan kerjasama dari masyarakat pada tugas-tugas kepolisian.
4.    Mengalang suasana kebersamaan internal kepolisian untuk menciptakan pelayanan yang baik bagi mayarakat.
5.    Menciptakn kerjasama dan kordinasi yang harmonis dengan sesama aparat pemerintah agar mencapai keuntungan bersama(sinegi).
6.    Menempatkan pelaksanaan tugas polisi sebagai profesi terhormat dan memandang sebagai sarana berharga dan terbaik untuk mengabdi pada masyarakat.
Pokok pikiran ini dinilai sebagai cita-cita yang tinggi dan terhormat bagi kepolisian, dasar da pola piker pemikiran yang diangap bersifat universal. Sehingga Internasional Association of Chief of Police (IACP) atau Asosiasi Kepala-Kepala Kepolisian Iternasional yang selalu mengadaknan pertemuan rutin setiap tahun di Amerika Serikat, menganggap masalah ini penting untuk dibahas dan disepakati untuk dijadikan pedoman perumusan Kode Etik Kepolisian, IACP, FBI, dan The Peace Officers Association of The State of California Inc (Persatuan Petugas Keamanan California) mensepakati dijadikan pokok-pokok pikir pedoman, namun namun rumusan akhirnya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan instansi
Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, akan merupakn sarana untuk:
1.    Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
2.    Mencapai sukses penugasan
3.    Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat
4.    Mewujudkan polisi yang professional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.

D.   KODE ETIK KEPOLISIAN
Etika Kepolisian merupakan suatu norma atau serangkaian aturan yang ditetapkan untuk membimbing petugas dalam menentukan, apakah tingkah laku pribadinya benar atau salah.
Dengan memahami pengertian dasar Etika Kepolisian, yang menjadi akar dan pedoman, yang menopang bentuk perilaku ideal yang kokoh dari polisi dalam melaksanakan pengabdiannya maka, akan membuat mereka teguh dalam pendiriannya, sehingga mereka dapat mengambil sikap yang tepat dalam setiap tindakannya. Dimana sikap itu berpangkal dari integritas yang mendalam dalam sanubari dan hati nuraninya. Itulah dasar dari moralitas Etika Kepolisian yang bersifat hakiki.
Tanpa memahami dasar itu seorang polisi akan dapat goyah apabila menghadapi problema-problema yang dijumpai dalam penugasan. Sikap goyah itu akan mendorong mereka untuk berperilaku menyimpang dari Etika kepolisian yang seharusnya mereka tegakkan.
Pemahaman yang setengah-tengah akan membuat mereka patuh hanya kalau ada pengawasan saja. Hal itu dapat diartikan sebagi sikap yang serba goyah, sikap yang tidak stabil, sikap yang tidak mantap bahkan pelecehan terhadap Etika Kepolisian.
Etika Kepolisian yang diaplikasikan dengan baik dan benar akan membantu polisi dalam pemecahan masalahnya sehari-hari. Polisi secara tepat dapat menentukan apakah tindakan itu baik atau tidak baik dalam mengemban tugas mereka. Apakah harus menerima uang imbalan atas hasil karyanya atau harus menolaknya, secara tegas yang sudah disebut dalam sumpah jabatan. Sikap professional dan keteladanan akan segera terlihat dan terasa pada saat dia menentukan tindakannya.



E.   CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK
Contoh pelanggaran kode etik polisi yang dilakukan oleh Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Cicendo Bandung Jawa Barat. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Cicendo, Bandung, Jawa Barat, Kompol Brusel Duta Samodra diduga menerima suap sebesar Rp1 miliar. Suap itu diterima Kapolsek Brusel dari tersangka kasus sabu berinisial A yang ditangkap oleh petugas Bea dan Cukai di Bandara Husein Sastranegara Bandung beberapa waktu lalu. Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Widodo Prihastopo membenarkan informasi dugaan penerimaan suap ini. Menurut Widodo, pihaknya sudah menjalankan tindakan tegas kepada anak buahnya itu. Brusel telah ditindak karena pelanggaran kode etik. “Yang bersangkutan jalani sidang kode etik yang dipimpin langsung oleh Wakapolrestabes Bandung (AKBP Rhinto Prastowo).
Kategori (pelanggarannya) penyalahgunaan wewenang," tutur Widodo di Mapolrestabes Bandung, Rabu (24/8/2011). Selain itu, pihaknya juga telah menyerahkan kasus ini untuk diproses di Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat. "Kami telah menyerahkan kasus ini ke Polda Jabar,” singkatnya. Dia enggan merinci lebih jauh mengenai kasus yang mencoreng korps Polri. “Silahkan saja tanya ke Kabid Humas Polda Jabar," tambahnya. Widodo berharap kejadian serupa tidak terulang kepada anak buahnya yang lain. Dia mengingatkan bahwa tugas pokok polisi adalah pemelihara, penegak hukum, pelindung juga pengayom masyarakat. “Apapun inovasi dan improvisasina tapi outputnya harus mengacu hal-hal tersebut," tegasnya. Berdasarkan informasi yang dihimpun, Kapolsek Brusel Duta Samodra diduga telah melepaskan tersangka kasus narkotika yang ditangani Kapolsek Cicendo. Tersangka A dibebaskan karena menyetorkan uang Rp1 miliar. Brusel menerima suap bersama seorang anak buahnya. Kini kedua polisi ini meringkuk di tahanan Polda Jabar.
Analisis
Sebelum membahas mengenai pelanggaran kode etik polisi dan sanksi-sanksinya, disini saya akan sedikit menjelaskan pengertian etika kepolisian, kode etik kepolisian, pelanggaran, dan sanksi-sanksinya.
Etika Kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.
Pembinaan kemampuan profesi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam mengemban tugas pokoknya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut dan terpadu.
Ruang lingkup pengaturan kode etik profesi polri mencakup :
1.    Etika kepribadian
2.    Etika kenegaraan
3.    Etika kelembagaan
4.    Etika dalam hubungan dengan masyarakat
Anggota polri yang melakukan pelanggaran kode etik dikenakan sanksi berupa :
1.    Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela
2.    Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara terbatas atau secara langsung
3.    Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi
4.    Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi/fungsi kepolisian
Dari pelanggaran di atas, untuk pelanggaran yang terakhir dibagi lagi. Yaitu sanksi administratif, berupa rekomendasi untuk :
1.    Di pindahkan tugas ke jabatan yang berbeda
2.    Di pindahkan tugas ke wilayah yang berbeda
3.    Pemberhentian dengan hormat
4.    Pemberhentian dengan tidak hormat.

Kasus pelanggaran kode etik di atas adalah kasus yang dilakukan oleh seorang polisi yang bernama Kompol Brusel Duta Samodra, Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Cicendo Bandung Jawa Barat. Brusel Duta Samudra diduga telah menerima suap dari tersangka kasus sabu berinisial A yang ditangkap oleh petugas Bea dan Cukai di Bandara Husein Sastranegara Bandung. Padahal seorang polisi terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Disini apa yang dilakukan Kompol Brusel Duta Samudra telah melanggar 1. Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang kode etik proesi kepolisian negara republik Indonesia No.Pol: 7 Tahun 2006 terutama ayat (1) huruf c, d, dan e Dalam etika dalam hubungan masyarakat anggota polri wajib: menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan dalam masyarakat. Perbuatan Kompol Brusel Duta samudra yang menerima suap dari tersangka sehingga mengakibatkan tersangka dibebaskan dari ancaman hukuman, ini merupakan perbuatan tercela dan dengan jelas keadilan tidak ditegakkan padahal dia adalah seorang polisi yang seharusnya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta menjadi panutan yang baik bagi masyarakat dan harus menegakkan keadilan seadil-adilnya.
Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang kode etik proesi kepolisian negara republik Indonesia No.Pol: 7 Tahun 2006 ayat (2) : Anggota polri wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasi dan menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan kepada masyarakat sebagaimana yang dimaksud ayat (1) huruf c.
Pemeriksaan atas pelanggaran kode etik profesi dilakukan oleh komisi kode etik polri. Perbuatan Kompol Brusel Duta samudra dapat dikenai sanksi dimasukan ke rumah tahanan dengan waktu yang telah ditentuan dan diberhentikan secara tidak hormat sebagai Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Cicendo Bandung, Jawa Barat, melihat perbuatan kejahatan yang dilakukan sangat berat, yaitu:
1.    Sebagai Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) seharusnya memberikan contoh yang baik bagi masyarakat terutama yang paling penting adalah contoh buat anak buahnya, tapi sebagai Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) malah melakukan perbutan suap.
2.    Suap yang diterimanya hingga mengakibatkan tersangka A dibebaskan, padahal tersangka A ini terlibat kasus sabu, yang seharusnya tersangka A ini mendapat hukuman yang sangat berat. Uang suap yang diterima dalam jumlah yang sangat besar hingga mencapai 1 miliar




BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULAN
Etika Kepolisian adalah norma atau sekumpulan peraturan yang ditetapkan untuk membimbing tugas dan untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.
Manfaat etika adalah memperkuat hati nurani yang baik dan benar, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakatnya. Sehingga dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik.
Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik adalalh dengan cara-cara-cara:
1.    Membangun masyarakat
2.    Membentuk Polisi yang baik
3.    Membentuk pimpinan polisi yang baik
Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, akan merupakn sarana untuk:
1.    Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
2.    Mencapai sukses penugasan
3.    Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat
4.    Mewujudkan polisi yang professional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.

B.   SARAN-SARAN
Perilaku yang menyimpang yang terjadi pada diri kepolisian harus segera diselidiki dan ditindak, sehingga akan mengurangi tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan Etika Kepolisian.





DAFTAR PUSTAKA
KUNARTO,DRS, Etika Kepolisian.1997.PT.Cipta   Manunggal.Jakarta