Kamis, 16 Mei 2013

Kejahatan Korporasi



BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Korporasi sebagai alat yang sangat luar biasa untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana untuk mencegahnya
Banyak perusahaan sering, dengan sengaja bahkan berulang-ulang, mencemoohkan hukum; mereka melakukan tidakan yang melanggar hokum namun dengan mudah keluar dari tuntutan hokum
B.   RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan suatu masalah yaitu :
1.      Apa yang dimaksud dengan kejahatan Ekonomi
2.      Sebab-sebab adanya kejahatan Korporasi.
C.   TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan kejahatan Ekonomi.
2.      Mengetahui sebab-sebab adanya kejahatan Ekoonomi.
D.   MANFAAT
Hasil penulisan makalah diharapkan bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran Ilmu Kriminologi terkait Kejahatan Korporasi guna mengkaji lebih rinci tentang definisi kejahatan korporasi serta sebab-sebab munculnya kejahatan korporasi.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   RUANG LINGKUP KEJAHATAN EKONOMI
Kejahatan ekonomi (economic crimes) secara umum dirumuskan sebagai kejahatan yang dilakukan karena atau untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for economic motives). Kejahatan ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam arti luas. Secara yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat secara sempit sebagai tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7/Drt./ 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di samping itu kejahatan ekonomi juga dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di luar Undang-undang TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang bercorak atau bermotif ekonomi atau yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan keuangan negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152).
Kegiatan di bidang perekonomian dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang yang sangat luas dan saling terkait, antara lain dalam bidang usaha perdagangan, industri, dan perbankan. Pengertian dan ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas inilah yang dalam istilah asing biasa disebut dengan istilah economic crimes , crime as business, business crime, abuse of economic power atau economic abuses (Barda Nawawi Arief, 1992 :148).
Dibandingkan dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi mempunyai karakteristik khusus. Kejahatan ekonomi lebih banyak tergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat. Dengan demikian sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis ataupun sistem gabungan masing-masing akan memiliki pengaturan tersendiri tentang apa yang dinamakan kejahatan ekonomi.
Berkaitan dengan tindak pidana ekonomi ini Muladi mengemukakan    bahwa yang paling mendasar adalah pemahaman bahwa tindak pidana di bidang perekonomian merupakan bagian dari hukum ekonomi yang berlaku di suatu bangsa, sedangkan hukum ekonomi yang berlaku di suatu negara tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa tersebut (1992 :13)
Kejahatan ekonomi mencakup pula kejahatan korporasi yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam dengan sanksi baik sanksi hukum administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa “crime for corporations” atau “ corporate criminal”. Sedangkan “crimes against corporations” lebih bersifat kejahatan okupasional (occupational crime) untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan.
Dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas, illegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan sungguh-sungguh jahat tetapi lebih karena kesialan (unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang diharuskan (technical ommision). Perumusan tindak pidana cenderung akan dianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas bagi dunia bisnis sehingga dianggap sebagai over criminalization. Istilah White Collar Crime (WCC) sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”.

B.   KEJAHATAN EKONOMI SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME
Istilah WCC ini pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang bernama Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) di awal dekade 1940-an yang dikemukakan dalam suatu pidato tanggal 27 Desember 1939 pada The American Sociological Society di Philadelphia. Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul White Collar Crime pada Tahun 1949.
Sutherland merumuskan WCC sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime committed by persons of respectability ang high social status in the course of their occupation). Istilah WCC memiliki pesan moral dan politik yang nampak dari dua elemen yaitu status pelaku (status of the offender) dan kedua, kejahatan tersebut berkaitan dengan karakter pekerjaan atau jabatan tertentu (the occupation of character of the offence). Dua elemen inilah yang membedakannya dari Blue Collar Crime. Dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime Sutherland menjelaskan bahwa istilah WCC ini terutama digunakan untuk menunjuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha dan pejabatpejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Ada beberapa pengelompokan WCC di antaranya adalah sebagai berikut :
pertama, WCC yang bersifat individual, berskala kecil dan modus operandi yang sederhana. Sebagai contoh di Indonesia adalah dalam kasus BLBI, di mana dana yang seharusnya diperuntukan bagi bank miliknya yang sedang kesulitan likuiditas justru untuk kepentingan pribadi. Kedua,.WCC yang bersifat individual, berskala besar dengan modus operandi yang kompleks. WCC seperti ini biasanya memakai pola yang sistematis dengan perencanaan dan pelaksanaan yang bisa memakan waktu yang cukup lama. Ini bisa dalam bentuk berbagai kolusi dengan ahli-ahli tertentu atau dengan orang dalam perusahaan tertentu. Ketiga,WCC yang melibatkan korporasi. Pelaku WCC adakalanya bukan individu tetapi sebuah korporasi sehingga kita mengenal istilah kejahatan korporasi (corporate crime). Dalam hal ini yang Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 44 diangap sebagai pelaku adalah korporasi, sehingga muncul teori-teori hukum yang memberikan justifikasi terhadap pemidanaan suatu korporasi. Sebagai contoh adalah perusahan Ford Motor Company yang pernah diproses pidana di pengadilan negara bagian Indiana Amerika Serikat karena dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan, karena sangat terlambat memperbaiki kesalahan dalam tangki bensin dari produk mobilnya yang bernama PINTO, sehingga banyak mobil meledak dan mematikan penumpangnya. Perusahaan enggan memperbaiki atau menarik mobil tersebut dari peredaran karena akan ada cost yang harus dikeluarkan sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan mobilnya itu. Konsekuensinya perusahaan tersebut didakwa telah melakukan tindak pidana pembunuhan (corporate crime), meskipun hal tersebut pada akhirnya tidak terbukti di pengadilan. Keempat, WCC di sektor publik, suatu WCC juga dapat terjadi di sektor publik yaitu yang melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasan publik atau pejabat pemerintah, sehingga dikenal istilah kejahatan jabatan (occupational crime). Sebagai contoh adalah berbagai bentuk korupsi dan penyuapan sehingga terjadi penyalahgunaan kewenangan publik.
Salah satu model WCC di sektor publik adalah kolusi atau konspirasi antara penguasa dan pengusaha yang bisa meliputi berbagai bidang seperti administratif, litigasi, perbankan, dan sebagainya. Para pelaku perbuatan WCC ini sering disebut dengan istilah-istilah seperti White Collar Criminal, Criminaloids, Criminals of the Upper World, Educated Criminals. Menurut Edward Ross yang dimaksudkan dengan criminaloids adalah mereka yang melakukan praktik-praktik kriminal dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, tetapi kejahatannya belum disorot oleh publik. Yang menjadi kunci dari criminaloids bukanlah kehendak jahat dari pelaku melainkan moral mereka yang tidak sensitif. Para criminaloids ini bukanlah seperti penjahat jalanan, mereka ini adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan terhormat di masyarakat. Mereka ini biasanya menggunakan standar ganda, di satu sisi tampak sebagai orang yang selalu berbuat baik tetapi disisi lain menggunakan cara-cara yang tidak etis dalam menjalankan pekerjaan atau profesinya. Kejahatan Perbankan.
Kejahatan perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan WCC. Salah satu perumusan kejahatan perbankan menyebutkan kejahatan perbankan (banking crime) adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan lembaga, perangkat dan produk perbankan sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau imateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak ketiga lainnya (Munir Fuady, 2004: 74). Perumusan ini sangat luas sehingga kejahatan perbankan dalam konteks ini meliputi lalu-lintas giral; perizinan; rahasia bank; kejahatan oleh komisaris, direksi, atau pegawai bank; perkreditan; penipuan; penggelapan; pemalsuan. Demikian juga modus operandi yang digunakan bisa meliputi pemalsuan dokumen jaminan, barang jaminan untuk memperoleh kredit digunakan beberapa kali, mendapat beberapa kredit untuk proyek yang sama, mendapat kredit dengan Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta) jaminan fiktif, pemberian kredit atas proyek fiktif, penyimpangan dari perjanjian membuka kredit dan sebagainya.
Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokan sebagai tindak pidana yaitu sebagai berikut :tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya. Ada pula yang membagi kejahatan perbankan dalam kategori kejahatan fisik, kejahatan perbankan kategori ini sebenarnya merupakan kejahatan konvensional akan tetapi berhubungan dengan perbankan. Terhadap kejahatan ini berlaku sepenuhnya KUHP misalnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain. Kategori kedua, pelanggaran administrasi perbankan. Sebagai lembaga pelayanan publik, maka banyak ketentuan administratif yang harus dipenuhi oleh perbankan, bahkan sebagian di antaranya pelanggaran ketentuan administratif ini dianggap sebagai tindak pidana.Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Perbankan yang berlaku. Sebagai contoh adalah bank gelap, tidak memenuhi batas maksimum pemberian kredit dan sebagainya. Kategori ketiga kejahatan produk bank, produk bank sangat beragam, karena itu kejahatan yang berhubungan dengan produk bank juga beraneka ragam, demikian juga ketentuan hukumnya juga beraneka ragam yaitu KUHP, UU Perbankan, dan Undang-undang Khusus lainnya. Sebagai contoh adalah pemberian kredit secara tidak benar misalnya tanpa agunan atau agunan fiktif, pemalsuan warkat bank, pemalsuan kartu kredit, transfer uang kepada yang tidak berhak dan sebagainya. Kategori keempat yaitu kejahatan profesional perbankan yaitu kejahatan perbankan yang berkenaan dengan pelanggaran profesi sebagai bankir. Sebagian pelanggaran ini diatur di dalam Undang-undang yang berlaku, sebagian lainnya hanya merupakan pelanggaran moral yang diatur dalam Kode Etik Bankir Indonesia. Sebagai contoh adalah membuka rahasia bank, tidak melakukan prinsip know your customer sehingga meloloskan money laundering. Kategori kelima, Kejahatan Likuiditas Bank Sentral.Bank Sentral dalam hal ini Bank Indonesia merupakan tempat meminjam terakhir (the lender of the last resort). Artinya jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas seperti kalah kliring atau terjadi rush nasabah, maka bank yang bersangkutan bisa meminjam uang sementara kepada Bank Indonesia. Hal ini pernah terjadi di tahun 1998 – 1999 di mana Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikenal dengan (BLBI) kepada sejumlah bank yang sakit, dengan harapan dapat sehat kembali. Namun ternyata banyak terjadi penyalahgunaan dana BLBI tersebut. Kategori keenam adalah pelanggaran moralitas. Selain kejahatan perbankan tersebut ada juga yang sifatnya masih dalam ruang lingkup etika perbankan..Penggolongan lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokkan sebagai tindak pidana yaitu tindak pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 46 sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan sebagainya.

C.   MONEY LAUNDERING (PENCUCIAN UANG)
Money laundering dapat diistilahkan dengan pencucian uang atau pemutihan uang. Kata money dalam money laundering diistilahkan secara beragam. Ada yang menyebutnya dengan dirty money, hot money, illegal money atau illicit money. Dalam istilah Indonesia juga disebut secara beragam yaitu, uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap. Istilah money laundering sendiri sudah merupakan istilah yang lazim dipergunakan secara internasional.
Belum ada definisi yang komprehensif dan universal tentang money laundering, karena berbagai pihak seperti institusi investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri. Secara singkat money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana yang sah. Tidak mudah untuk membuktikan adanya money laundering karena kegiatannya sangat kompleks sekali. Para ahli menggolongkan proses money laundering ke dalam tiga tahap yaitu pertama, tahap placement yaitu menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositokan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan, menggabungkan uang tunai yang bersifat illegal dan uang yang diperoleh secara legal. Bisa juga dalam bentuk mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing. Kedua, tahap layering dengan cara pelapisan (layering). Tujuannya adalah untuk menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham dan sebagainya. Tahap selanjutnya adalah Integrasi, tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas yang untuk selanjutnya uang tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan yang legal. Dengan cara ini maka nampak bahwa kegiatan yang dilakukan kemudian seolah tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.

D.   RUMUSAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Undang-undang Pencucian Uang (UUPU) No. 15 Th. 2002 jo. UU No. 25 Th. 2003 merumuskan tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 3 yang (1) menyatakan sebagai berikut :
a.    Setiap orang yang menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta).
b.    Mentransfer Harta Kekayaan yang patut diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.    membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d.    menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e.    menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f.     membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g.    menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). Unsur pertama dari tindak pidana ini adalah setiap orang. Menurut Pasal 1 angka 2 UUPU yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi. Korporasi menurut Pasal 1 angka 3 UUPU adalah kumpulan orang dan/ atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan Harta Kekayaan menurut Pasal 1 angka 4 adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Karena dalam perumusan ditentukan bahwa tindak pidana pencucian uang hanya dilakukan dalam hal menyangkut Harta Kekayaan  yang diketahui atau diduga diketahui oleh pelaku merupakan hasil tindak pidana, maka juga harus diketahui mengenai batasan dari hasil tindak pidana. Pasal 2 UUPU merumuskan hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: korupsi; penyuapan; penyelundupan barang;- penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan imigran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang asuransi; narkotika; psikotropika;-perdagangan manusia;-perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme;-pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi;di bidang  perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan; atau-tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara RI atau di luar wilayah Negara RI dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Berdasarkan pada perumusan bahwa tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia maka Undang-undang Pencucian Uang dalam menentukan hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Persoalan yang muncul sehubungan dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah apakah tindak pidana asal (predicate crime) yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) itu harus sudah terbukti sebelumnya berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap? Jawabannya adalah Tidak, hal ini diketahui dari penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUPU yang menyatakan sebagai berikut : ”Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.” UUPU juga menganut asas pembuktian terbalik seperti tercantum dalam Pasal 35 yang menyatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Penjelasan Pasal tersebut menyatakan Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan Harta Kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Berdasarkan ketentuan di atas, maka dalam hal penuntutan tindak pidana pencucian uang, menurut Remy Syahdeini ada dua hal yang harus dicermati yaitu pertama, tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan yang dicuci itu tidak  perlu harus telah terbukti berdasarkan putusan hakim pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, baik putusan hakim pidana di dalam negeri atau di luar negeri. Alasannya adalah karena penjelasan Pasal 3 ayat (1) menentukan demikian dan juga karena berlakunya asas pembuktian terbalik berdasarkan ketentuan Pasal 35 No. 15 Th.2002.  Kedua, penuntut umum harus dapat membuktikan bahwa terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa Harta Kekayaan yang dicuci itu merupakan hasil tindak pidana yang berasal dari salah satu predicate crime yang ditentukan dalam Pasal 2, baik yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia” dan harus dapat membuktikan pula bahwa perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan oleh terdakwa “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.” Ancaman pidana bagi setiap orang yang mencoba, membantu, bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang adalah sama dengan pelaku. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2). Pasal 3 ayat (2) menyatakan :  Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Kriminalisasi lain adalah bagi Penyedia Jasa keuangan yang menerima penempatan atau yang melaksanakan transfer terhadap Harta Kekayaan tersebut dipidana berdasarkan Pasal 6 ayat (1) apabila :
a.    Penyedian Jasa Keuangan tersebut mengetahui atau patut menduga bahwa Harta Kekayaan yang ditempatkan atau ditransfer itu merupakan hasil tindak pidana (sesuai Pasal 6 ayat 1) dan,
b.    Penyedia Jasa Keuangan tersebut tidak melaksanakan kewajiban Pelaporan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (sesuai Pasal 6 `ayat 2).



















BAB III
PENUTUP

A.   KESIMPULANN
White collar crime sebagai suatu istilah yang menggambarkan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dalam pekerjannya, di sisi lain telah mematahkan anggapan masyarakat yang telah stereotipe bahwa sebab-sebab kejahatan adalah faktor-faktor patologis yang bersifat individual seperti kemiskinan, kebodohan dan sebagainya. Tegasnya apa yang disebut sebagai Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 52 kejahatan ternyata tidak hanya dilakukan oleh kalangan bawah, tetapi juga banyak dilakukan oleh lapisan masyarakat tingkat atas dengan beragam modus operandi. Ruang lingkup kejahatan ekonomi meliputi bidang yang sangat luas. Seperti kejahatan di bidang perbankan, money laundering, kejahatan komputer, kejahatan korporasi, dan lain-lain. Dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas, illegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Memiliki karakteristik khusus karena tergantung pada system ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat.
B.   SARAN
Pengaturan hukum pidana dalam kejahatan ekonomi harus memperhatikan berbagai kepentingan, jangan sampai menjadi over criminalization yang justru kontra produktif. Hukum pidana sebaiknya tetap dalam posisi ultimum remedium. Jika sarana di luar hukum pidana tidak memadai atau dianggap tidak memadai lagi barulah digunakan hukum pidana.
DAFTAR PUSTAKA
__________Al. Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Univ. Atmajaya, Yogyakarta.
__________Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
__________Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
__________Munir Fuady, 2004, Bisnis Kotor (Anatomi Kejahatan Kerah Putih), Citra Aditya Bakti, Bandung.
__________N.H.T. Siahaan, 2005, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, edisi revisi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. J.E. Sahetapy, 1994, Kejahatan Korporasi, PT. Eresco, Bandung.
__________UU Pencucian Uang (UU No. 15 /2002 dan UU No. 25 /2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar