BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Korporasi sebagai alat yang sangat luar biasa untuk
memperoleh keuntungan pribadi tanpa perlu adannya pertanggung jawaban. Pada
berbagai sektor perekonomian, dapat ditemukan satu contoh pelanggaran korporasi
yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat
berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas
tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi
pada berbagai perusahaan di masa lalu dapat hidup kembali. Oleh karena itu, perlu
diketahui bagaimana untuk mencegahnya
Banyak perusahaan sering, dengan sengaja bahkan
berulang-ulang, mencemoohkan hukum; mereka melakukan tidakan yang melanggar
hokum namun dengan mudah keluar dari tuntutan hokum
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah
diatas dapat dirumuskan suatu masalah yaitu :
1. Apa yang dimaksud
dengan kejahatan Ekonomi
2. Sebab-sebab adanya kejahatan Korporasi.
C.
TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui apa yang dimaksud
dengan kejahatan Ekonomi.
2. Mengetahui sebab-sebab adanya kejahatan Ekoonomi.
D.
MANFAAT
Hasil penulisan makalah
diharapkan bermanfaat bagi pengembangan pembelajaran Ilmu Kriminologi terkait
Kejahatan Korporasi guna mengkaji lebih rinci tentang definisi kejahatan
korporasi serta sebab-sebab munculnya kejahatan korporasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RUANG
LINGKUP KEJAHATAN EKONOMI
Kejahatan ekonomi (economic
crimes) secara umum dirumuskan sebagai kejahatan yang dilakukan karena atau
untuk motif-motif ekonomi (crime undertaken for economic motives).
Kejahatan ekonomi bisa dilihat secara sempit maupun dalam arti luas. Secara
yuridis kejahatan ekonomi dapat dilihat secara sempit sebagai tindak pidana
ekonomi yang diatur dalam Undang-undang No. 7/Drt./ 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di samping itu kejahatan
ekonomi juga dapat dilihat secara luas yaitu semua tindak pidana di luar
Undang-undang TPE (UU No. 7 drt. 1955) yang bercorak atau bermotif ekonomi atau
yang dapat mempunyai pengaruh negatif terhadap kegiatan perekonomian dan
keuangan negara yang sehat (Barda Nawawi Arief, 1992 :152).
Kegiatan di bidang perekonomian
dan keuangan negara yang sehat dapat meliputi bidang yang sangat luas dan
saling terkait, antara lain dalam bidang usaha perdagangan, industri, dan
perbankan. Pengertian dan ruang lingkup kejahatan ekonomi dalam arti luas
inilah yang dalam istilah asing biasa disebut dengan istilah economic crimes
, crime as business, business crime, abuse of economic power atau economic
abuses (Barda Nawawi Arief, 1992 :148).
Dibandingkan
dengan kejahatan tradisional yang lain, khususnya kejahatan terhadap harta benda, kejahatan ekonomi mempunyai
karakteristik khusus.
Kejahatan ekonomi lebih banyak tergantung pada sistem ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat.
Dengan demikian sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis ataupun sistem gabungan
masing-masing akan memiliki pengaturan tersendiri tentang apa yang dinamakan
kejahatan ekonomi.
Berkaitan dengan
tindak pidana ekonomi ini Muladi mengemukakan bahwa yang paling mendasar adalah pemahaman
bahwa tindak pidana di bidang perekonomian merupakan bagian dari hukum
ekonomi yang berlaku di suatu bangsa, sedangkan hukum ekonomi yang berlaku di
suatu negara tidak terlepas dari sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa
tersebut (1992 :13)
Kejahatan
ekonomi mencakup pula kejahatan korporasi yaitu setiap perbuatan yang dilakukan
oleh korporasi yang diancam dengan sanksi baik sanksi hukum administrasi, hukum
perdata maupun hukum pidana. Kejahatan korporasi tersebut dapat berupa “crime
for corporations” atau “ corporate criminal”. Sedangkan “crimes
against corporations” lebih bersifat kejahatan okupasional (occupational
crime) untuk kepentingan pribadi, misalnya penggelapan uang perusahaan.
Dalam kejahatan
ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas, illegalitas
dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”.
Pelaku sering merasakan dirinya bukan sungguh-sungguh jahat tetapi lebih karena
kesialan (unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang
diharuskan (technical ommision). Perumusan tindak pidana cenderung akan
dianggap sebagai campur tangan pemerintah yang terlalu luas bagi dunia bisnis
sehingga dianggap sebagai over criminalization. Istilah White Collar
Crime (WCC) sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai
“kejahatan kerah putih” atau “kejahatan berdasi”.
B.
KEJAHATAN
EKONOMI SEBAGAI WHITE COLLAR CRIME
Istilah WCC ini
pertama kali dikemukakan oleh seorang kriminolog Amerika Serikat yang bernama Edwin
Hardin Sutherland (1883-1950) di awal dekade 1940-an yang dikemukakan dalam
suatu pidato tanggal 27 Desember 1939 pada The American Sociological Society
di Philadelphia. Kemudian Sutherland menerbitkan buku yang berjudul White
Collar Crime pada Tahun 1949.
Sutherland
merumuskan WCC sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memiliki kedudukan sosial yang tinggi dan terhormat dalam pekerjaannya (crime
committed by persons of respectability ang high social status in the
course of their occupation). Istilah WCC memiliki pesan moral dan politik
yang nampak dari dua elemen yaitu status pelaku (status of the offender)
dan kedua, kejahatan tersebut berkaitan dengan karakter pekerjaan atau jabatan
tertentu (the occupation of character of the offence). Dua elemen
inilah yang membedakannya dari Blue Collar Crime. Dalam bukunya yang berjudul White Collar Crime
Sutherland menjelaskan bahwa istilah WCC ini terutama digunakan untuk
menunjuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para pengusaha dan
pejabatpejabat eksekutif yang merugikan kepentingan umum. Ada beberapa
pengelompokan WCC di antaranya adalah sebagai berikut :
pertama, WCC yang
bersifat individual, berskala kecil dan modus operandi yang sederhana. Sebagai
contoh di Indonesia adalah dalam kasus BLBI, di mana dana yang seharusnya
diperuntukan bagi bank miliknya yang sedang kesulitan likuiditas justru untuk
kepentingan pribadi. Kedua,.WCC yang bersifat individual, berskala besar
dengan modus operandi yang kompleks. WCC seperti ini biasanya memakai
pola yang sistematis dengan perencanaan dan pelaksanaan yang bisa memakan waktu
yang cukup lama. Ini bisa dalam bentuk berbagai kolusi dengan ahli-ahli
tertentu atau dengan orang dalam perusahaan tertentu. Ketiga,WCC yang
melibatkan korporasi. Pelaku WCC adakalanya bukan individu tetapi sebuah
korporasi sehingga kita mengenal istilah kejahatan korporasi (corporate
crime). Dalam hal ini yang Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1,
April 2007 : 42 – 52 44 diangap sebagai pelaku adalah korporasi, sehingga muncul
teori-teori hukum yang memberikan justifikasi terhadap pemidanaan suatu
korporasi. Sebagai contoh adalah perusahan Ford Motor Company yang
pernah diproses pidana di pengadilan negara bagian Indiana Amerika Serikat
karena dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan, karena sangat terlambat
memperbaiki kesalahan dalam tangki bensin dari produk mobilnya yang bernama PINTO,
sehingga banyak mobil meledak dan mematikan penumpangnya. Perusahaan enggan
memperbaiki atau menarik mobil tersebut dari peredaran karena akan ada cost yang
harus dikeluarkan sehingga akan mengurangi keuntungan yang diperoleh dari hasil
penjualan mobilnya itu. Konsekuensinya perusahaan tersebut didakwa telah
melakukan tindak pidana pembunuhan (corporate crime), meskipun hal
tersebut pada akhirnya tidak terbukti di pengadilan. Keempat, WCC di
sektor publik, suatu WCC juga dapat terjadi di sektor publik yaitu yang
melibatkan pihak-pihak pemegang kekuasan publik atau pejabat pemerintah,
sehingga dikenal istilah kejahatan jabatan (occupational crime). Sebagai
contoh adalah berbagai bentuk korupsi dan penyuapan sehingga terjadi
penyalahgunaan kewenangan publik.
Salah satu model
WCC di sektor publik adalah kolusi atau konspirasi antara penguasa dan
pengusaha yang bisa meliputi berbagai bidang seperti administratif, litigasi,
perbankan, dan sebagainya. Para pelaku perbuatan WCC ini sering disebut
dengan istilah-istilah seperti White Collar Criminal, Criminaloids, Criminals
of the Upper World, Educated Criminals. Menurut Edward Ross yang
dimaksudkan dengan criminaloids adalah mereka yang melakukan
praktik-praktik kriminal dalam menjalankan tugas/pekerjaannya, tetapi
kejahatannya belum disorot oleh publik. Yang menjadi kunci dari criminaloids
bukanlah kehendak jahat dari pelaku melainkan moral mereka yang tidak
sensitif. Para criminaloids ini bukanlah seperti penjahat jalanan,
mereka ini adalah orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dan terhormat di
masyarakat. Mereka ini biasanya menggunakan standar ganda, di satu sisi tampak
sebagai orang yang selalu berbuat baik tetapi disisi lain menggunakan cara-cara
yang tidak etis dalam menjalankan pekerjaan atau profesinya. Kejahatan
Perbankan.
Kejahatan
perbankan merupakan salah satu bentuk kejahatan WCC. Salah satu
perumusan kejahatan perbankan menyebutkan kejahatan perbankan (banking crime)
adalah suatu jenis kejahatan yang secara melawan hukum pidana dilakukan
baik dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja, yang ada hubungannya dengan
lembaga, perangkat dan produk perbankan sehingga menimbulkan kerugian materiil
dan atau imateriil bagi perbankan itu sendiri maupun bagi nasabah atau pihak
ketiga lainnya (Munir Fuady, 2004: 74). Perumusan ini sangat luas sehingga
kejahatan perbankan dalam konteks ini meliputi lalu-lintas giral; perizinan; rahasia
bank; kejahatan oleh komisaris, direksi, atau pegawai bank; perkreditan;
penipuan; penggelapan; pemalsuan. Demikian juga modus operandi yang digunakan
bisa meliputi pemalsuan dokumen jaminan, barang jaminan untuk memperoleh kredit
digunakan beberapa kali, mendapat beberapa kredit untuk proyek yang sama,
mendapat kredit dengan Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta) jaminan
fiktif, pemberian kredit atas proyek fiktif, penyimpangan dari perjanjian
membuka kredit dan sebagainya.
Penggolongan
lain menyatakan bahwa modus operandi perbankan dapat dikelompokan sebagai
tindak pidana yaitu sebagai berikut :tindak pidana umum, misalnya pemalsuan
kartu kredit, giro bilyet dan sebagainya; tindak pidana perbankan, misalnya
praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya kasus kredit likuiditas
Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar dan
sebagainya. Ada pula yang membagi kejahatan perbankan dalam kategori kejahatan
fisik, kejahatan perbankan kategori ini sebenarnya merupakan kejahatan
konvensional akan tetapi berhubungan dengan perbankan. Terhadap kejahatan ini
berlaku sepenuhnya KUHP misalnya perampokan bank, penipuan dan lain-lain.
Kategori kedua, pelanggaran administrasi perbankan. Sebagai lembaga pelayanan
publik, maka banyak ketentuan administratif yang harus dipenuhi oleh perbankan,
bahkan sebagian di antaranya pelanggaran ketentuan administratif ini dianggap
sebagai tindak pidana.Hal ini diatur di dalam Undang-Undang Perbankan yang
berlaku. Sebagai contoh adalah bank gelap, tidak memenuhi batas maksimum
pemberian kredit dan sebagainya. Kategori ketiga kejahatan produk bank, produk
bank sangat beragam, karena itu kejahatan yang berhubungan dengan produk bank
juga beraneka ragam, demikian juga ketentuan hukumnya juga beraneka ragam yaitu
KUHP, UU Perbankan, dan Undang-undang Khusus lainnya. Sebagai contoh adalah
pemberian kredit secara tidak benar misalnya tanpa agunan atau agunan fiktif,
pemalsuan warkat bank, pemalsuan kartu kredit, transfer uang kepada yang tidak
berhak dan sebagainya. Kategori keempat yaitu kejahatan profesional perbankan
yaitu kejahatan perbankan yang berkenaan dengan pelanggaran profesi sebagai
bankir. Sebagian pelanggaran ini diatur di dalam Undang-undang yang berlaku,
sebagian lainnya hanya merupakan pelanggaran moral yang diatur dalam Kode Etik
Bankir Indonesia. Sebagai contoh adalah membuka rahasia bank, tidak melakukan
prinsip know your customer sehingga meloloskan money laundering. Kategori
kelima, Kejahatan Likuiditas Bank Sentral.Bank Sentral dalam hal ini Bank
Indonesia merupakan tempat meminjam terakhir (the lender of the last resort).
Artinya jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas seperti kalah kliring
atau terjadi rush nasabah, maka bank yang bersangkutan bisa meminjam
uang sementara kepada Bank Indonesia. Hal ini pernah terjadi di tahun 1998 –
1999 di mana Bank Indonesia mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang
dikenal dengan (BLBI) kepada sejumlah bank yang sakit, dengan harapan dapat
sehat kembali. Namun ternyata banyak terjadi penyalahgunaan dana BLBI tersebut.
Kategori keenam adalah pelanggaran moralitas. Selain kejahatan perbankan tersebut ada juga yang sifatnya masih
dalam ruang lingkup etika perbankan..Penggolongan lain menyatakan bahwa modus
operandi perbankan dapat dikelompokkan sebagai tindak pidana yaitu tindak
pidana umum, misalnya pemalsuan kartu kredit, giro bilyet dan Jurnal Ekonomi
dan Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 46 sebagainya; tindak
pidana perbankan, misalnya praktik bank gelap; tindak pidana korupsi, misalnya
kasus kredit likuiditas Bank Indonesia, manipulasi data untuk mendapatkan
kredit dalam jumlah besar dan sebagainya.
C.
MONEY LAUNDERING (PENCUCIAN UANG)
Money laundering
dapat diistilahkan dengan pencucian uang atau pemutihan uang. Kata money dalam
money laundering diistilahkan secara beragam. Ada yang menyebutnya dengan dirty money, hot money,
illegal money atau illicit money. Dalam istilah Indonesia juga disebut
secara beragam yaitu, uang kotor, uang
haram, uang panas atau uang gelap. Istilah money laundering sendiri
sudah merupakan istilah
yang lazim dipergunakan secara internasional.
Belum ada
definisi yang komprehensif dan universal tentang money laundering, karena berbagai pihak
seperti institusi investigasi, kalangan pengusaha, negara-negara dan organisasi lainnya memiliki
definisi-definisi sendiri. Secara singkat
money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah
supaya terlihat diperoleh dari dana yang sah. Tidak mudah untuk membuktikan adanya money laundering karena
kegiatannya sangat kompleks
sekali. Para ahli
menggolongkan proses money laundering ke dalam tiga tahap yaitu pertama, tahap placement
yaitu menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositokan uang kotor
tersebut ke dalam sistem
keuangan, menggabungkan uang tunai yang bersifat illegal dan uang yang diperoleh secara legal. Bisa juga
dalam bentuk mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing.
Kedua, tahap layering dengan cara pelapisan (layering). Tujuannya
adalah untuk
menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana
dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain, memecah-mecah jumlah
dananya di bank dengan maksud
mengaburkan asal-usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham dan sebagainya. Tahap selanjutnya adalah
Integrasi, tahap ini merupakan tahap
menyatukan kembali uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas yang untuk
selanjutnya uang tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan yang legal. Dengan cara ini maka nampak
bahwa kegiatan yang dilakukan
kemudian seolah tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan illegal sebelumnya, dan dalam tahap
inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.
D.
RUMUSAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN
UANG
Undang-undang
Pencucian Uang (UUPU) No. 15 Th. 2002 jo. UU No. 25 Th. 2003 merumuskan tindak pidana pencucian uang dalam Pasal
3 yang (1) menyatakan
sebagai berikut :
a.
Setiap orang yang menempatkan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri maupun atas nama
pihak lain; Ruang Lingkup Kejahatan Ekonomi (Supriyanta).
b.
Mentransfer Harta Kekayaan yang
patut diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana dari
suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas
nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.
membayarkan atau membelanjakan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d.
menghibahkan atau menyumbangkan
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e.
menitipkan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas
namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f.
membawa ke luar negeri Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;
atau
g.
menukarkan atau perbuatan lainnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana
pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar
rupiah). Unsur pertama dari tindak pidana ini adalah setiap orang. Menurut
Pasal 1 angka 2 UUPU yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang
perorangan atau korporasi. Korporasi menurut Pasal 1 angka 3 UUPU adalah kumpulan
orang dan/ atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum. Sedangkan
yang dimaksud dengan Harta Kekayaan menurut Pasal 1 angka 4 adalah semua
benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud. Karena dalam perumusan ditentukan bahwa tindak pidana pencucian
uang hanya dilakukan dalam hal menyangkut Harta Kekayaan yang diketahui atau diduga diketahui oleh
pelaku merupakan hasil tindak pidana, maka juga harus diketahui mengenai
batasan dari hasil tindak pidana. Pasal
2 UUPU merumuskan hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana: korupsi; penyuapan; penyelundupan barang;- penyelundupan
tenaga kerja; penyelundupan imigran; di bidang perbankan; di bidang pasar
modal; di bidang asuransi; narkotika; psikotropika;-perdagangan manusia;-perdagangan
senjata gelap; penculikan; terorisme;-pencurian; penggelapan; penipuan;
pemalsuan uang; perjudian; prostitusi;di bidang
perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang
kelautan; atau-tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4
(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara RI atau di
luar wilayah Negara RI dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia.
Berdasarkan pada
perumusan bahwa tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Republik
Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia maka Undang-undang Pencucian Uang dalam menentukan hasil
tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Persoalan
yang muncul sehubungan dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah
apakah tindak pidana asal (predicate crime) yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) itu harus sudah
terbukti sebelumnya berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap? Jawabannya adalah Tidak, hal ini diketahui
dari penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUPU yang menyatakan sebagai berikut : ”Terhadap
Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan
tindak pidana pencucian uang.” UUPU juga menganut asas pembuktian
terbalik seperti tercantum dalam Pasal 35 yang menyatakan bahwa untuk
kepentingan pemeriksaan di siding pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Penjelasan Pasal
tersebut menyatakan Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi
kesempatan untuk membuktikan Harta Kekayaannya bukan berasal dari tindak
pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Berdasarkan
ketentuan di atas, maka dalam hal penuntutan tindak pidana pencucian
uang, menurut Remy Syahdeini ada dua hal yang harus dicermati yaitu pertama,
tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan yang dicuci itu tidak perlu harus telah terbukti berdasarkan
putusan hakim pidana yang telah berkekuatan hukum tetap, baik putusan
hakim pidana di dalam negeri atau di luar negeri. Alasannya adalah
karena penjelasan Pasal 3 ayat (1) menentukan demikian dan juga karena
berlakunya asas pembuktian terbalik berdasarkan ketentuan Pasal 35 No. 15 Th.2002. Kedua, penuntut umum harus dapat
membuktikan bahwa terdakwa “mengetahui atau patut menduga bahwa Harta
Kekayaan yang dicuci itu merupakan hasil tindak pidana yang berasal dari salah
satu predicate crime yang ditentukan dalam Pasal 2, baik yang dilakukan di
wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik
Indonesia” dan harus dapat membuktikan pula bahwa perbuatan atau
perbuatan-perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan oleh
terdakwa “dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta
Kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.” Ancaman
pidana bagi setiap orang yang mencoba, membantu, bermufakat jahat untuk
melakukan tindak pidana pencucian uang adalah sama dengan pelaku. Hal ini diatur
dalam Pasal 3 ayat (2). Pasal 3 ayat (2) menyatakan : Setiap orang yang melakukan percobaan,
pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian
uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Kriminalisasi
lain adalah bagi Penyedia Jasa keuangan yang menerima penempatan atau
yang melaksanakan transfer terhadap Harta Kekayaan tersebut dipidana
berdasarkan Pasal 6 ayat (1) apabila :
a. Penyedian Jasa Keuangan tersebut mengetahui atau patut menduga
bahwa Harta Kekayaan yang ditempatkan atau ditransfer itu merupakan hasil
tindak pidana (sesuai Pasal 6 ayat 1) dan,
b. Penyedia Jasa Keuangan tersebut tidak melaksanakan kewajiban
Pelaporan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 (sesuai Pasal
6 `ayat 2).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULANN
White collar crime sebagai suatu istilah yang menggambarkan kejahatan yang dilakukan
oleh orang-orang terhormat dalam pekerjannya, di sisi lain telah mematahkan
anggapan masyarakat yang telah stereotipe bahwa sebab-sebab kejahatan
adalah faktor-faktor patologis yang bersifat individual seperti kemiskinan,
kebodohan dan sebagainya. Tegasnya apa yang disebut sebagai Jurnal Ekonomi dan
Kewirausahaan Vol. 7, No. 1, April 2007 : 42 – 52 52 kejahatan ternyata tidak
hanya dilakukan oleh kalangan bawah, tetapi juga banyak dilakukan oleh lapisan
masyarakat tingkat atas dengan beragam modus operandi. Ruang lingkup kejahatan
ekonomi meliputi bidang yang sangat luas. Seperti kejahatan di bidang
perbankan, money laundering, kejahatan komputer, kejahatan korporasi,
dan lain-lain. Dalam kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit
antara legalitas, illegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan
bukan “mala in se”. Memiliki karakteristik khusus karena tergantung pada
system ekonomi dan tingkat pembangunan suatu masyarakat.
B. SARAN
Pengaturan hukum pidana dalam
kejahatan ekonomi harus memperhatikan berbagai kepentingan, jangan sampai
menjadi over criminalization yang justru kontra produktif. Hukum pidana
sebaiknya tetap dalam posisi ultimum remedium. Jika sarana di luar hukum
pidana tidak memadai atau dianggap tidak memadai lagi barulah digunakan hukum
pidana.
DAFTAR PUSTAKA
__________Al.
Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
Komputer, Univ. Atmajaya, Yogyakarta.
__________Barda
Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
__________Muladi
dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung.
__________Munir
Fuady, 2004, Bisnis Kotor (Anatomi Kejahatan Kerah Putih), Citra
Aditya Bakti, Bandung.
__________N.H.T.
Siahaan, 2005, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, edisi revisi,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. J.E. Sahetapy, 1994, Kejahatan Korporasi,
PT. Eresco, Bandung.
__________UU Pencucian Uang (UU No. 15 /2002 dan UU No. 25 /2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar