BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Persoalan
Blok Ambalat yang sampai saat ini masih dalam tahap perundingan antara Malaysia
dan Indonesia mengemuka karena dipicu oleh pemberian konsesi minyak (Producion
Sharing Contract/PSC) yang terletak di Laut Sulawesi–termasuk perairan
Ambalat-oleh Malaysia melalui perusahaan minyaknya Petronas Carigali kepada
Shell perusahaan asal Belanda pada 16 Pebruari 2005. Dasar pemberian konsesi
ini karena Malaysia merasa bahwa blok migas di perairan Ambalat tersebut adalah
sebagai bagian dari wilayah teritorial maritimnya.
Kasus
ini muncul sedikit banyak masih berkait dengan masalah klaim atas Pulau Sipadan
dan Ligitan yang pada tanggal 17 Desember 2002 melalui putusan Mahkamah
Internasional di Den Haag disahkan menjadi bagian dari wilayah Malaysia. Dengan
diakuinya Pulau Sipadan dan Ligitan secara internasional sebagai milik
Malaysia, maka hal ini dijadikan dasar Malaysia sebagai penentu penarikan
garis batas maritim dengan menghubungkan titik atau pulau terluar sebagai titik
pangkal menghitung wilayah maritim sejauh 12 mil, sehingga jika didasarkan pada
penghitungan ini, maka sesuai letak geografisnya Blok Ambalat akan masuk
menjadi bagian wilayah Malaysia yang secara otomatis akan mengurangi wilayah
Indonesia. Sementara selama ini Indonesia telah mengelola pertambangan minyak
dan gas lepas pantai Blok Ambalat dan Blok Ambalat Timur (East Ambalat)
yang berada di perairan sekitar Kalimantan Timur yang berada dalam wilayah
Indonesia.
B.
RUMUSAN MASALAHA
Berdasar dari uraian di atas tulisan ini hendak melihat
lebih jauh mengenai status Blok Ambalat dan Karang Unarang ini ditinjau dari
Hukum Laut Internasional dan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (United
Nations Convention Law of the Sea/UNCLOS 1982) serta peraturan perundangan
lain. Dimana berdasarkan konvensi tersebut Indonesia telah mendapatkan
pengakuan sebagai negara kepulauan yang memiliki hak yang berbeda dalam hal
penarikan garis batas wilayah.?
BAB II
PEMBAHASAN
A. NEGARA KEPULAUAN DAN NEGARA
PANTAI
Pengaturan tentang kedaulatan dan yurisdiksi negara di
laut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat konvensi Jenewa tahun
1958 yang mengatur tentang laut teritorial dan zona tambahan, perikanan dan
konservasi sumberdaya hayati di laut lepas, landas kontinen dan laut lepas.
Namun demikian pada kisaran tahun 1970-an konvensi tersebut mulai dianggap
tidak lagi memadai dan muncul tuntutan untuk meninjau kembali isi konvensi
tersbut.
Dalam Konvensi 1982 ini konsep negara kepulauan
mendapatkan pengakuan dengan dicantumkannya pengaturan mengenai hal ini dalam
Bab 4 Konvensi tentang Negara Kepulauan5, dimana hal tersebut tidak
terdapat dalam konvensi–konvensi Geneva tentang hukum laut tahun 1958.
Pengertian yang diberikan konvensi ini tentang negara kepulauan adalah sebagai
negara-negara yang terdiri seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Sedangkan
yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang
saling bersambung (interconnecting waters) dan karakteristik alamiah lainnya
dalam pertalian yang demikian eratnya sehingga membentuk suatu kesatuan
intrinsik geografis, ekonomis dan politis atau secara historis memang dipandang
sebagai demikian.6 Dalam UU No.6 tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia pada Pasal 2 menyatakan bahwa Negara RI adalah negara kepulauan
yang berarti segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan
pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan RI dengan tidak
memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah RI
sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah
kedaulatan Negara RI.
Perbedaan mendasar negara kepulauan dan negara pantai
biasa adalah dalam penetapan titik dasar untuk penarikan batas perairan
teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Indonesia sebagai
negara kepulauan dibolehkan menarik titik dasar dari ujung pulau terluar hingga
200 mil, sementara Malaysia hanya 12 mil dari daratan (Wilayah Malaysia yang
dimaksud daratan adalah Sabah yang berada di Pulau Kalimantan) dan bukan pulau
terluar (Sipadan-Ligitan).
Satu hal yang perlu diketahui bahwa selama ini Malaysia
tidak pernah mengeluarkan posisi titik dasar dan garis pangkalnya dan hanya
mengklaim landas kontinen saja.
Sedangkan Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state) berhak menarik garis pangkal dan titik dasar
berdasar pada pasal-pasal Konvensi 1982 antara lain : (a) Pasal 5 tentang
garis pangkal biasa, (b) Pasal 7 tentang garis pangkal lurus, (c) Pasal 6
tentang karang, (d) Pasal 8 tentang mulut sungai, (e) Pasal 10 tentang teluk, (f)
Pasal 11 tentang Pelabuhan, (g) Pasal 13 tentang Low Tide Elevation dan Pasal
47 tentang garis pangkal lurus kepulauan. Dan Indonesia telah menetapkan
titik dasar dan garis pangkal tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 38 tahun
2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia.
Jika selama ini yang dijadikan dasar klaim Malaysia atas
Ambalat adalah putusan Mahkamah Internasional atas status Sipadan-Ligitan hal
ini pun sebenarnya kurang tepat jika dicermati lebih jauh. Hal ini dilatabelakangi
bahwa putusan Mahkamah Internasional atas kasus Sipadan-Ligitan adalah
keputusan yang menyangkut kedaulatan Sipadan-Ligitan semata. Hakim Mahkamah
Internasional juga menyatakan bahwa kedaulatan atas kedua pulau tersebut dan
batas landas kontinen adalah merupakan dua hal yang sangat berbeda. Hakim
Mahkamah Internasional berpendapat masalah delimitasi (garis batas) landas
kontinen harus dipandang dengan sudut pandang berbeda, yaitu berdasar Konvensi
Hukum Laut 1982.
Dengan demikian jika Malaysia mengklaim perairan Ambalat
dan Karang Unarang dengan dasar argumentasi bahwa tiap pulau berhak
mempuyai landas kontinen, laut territorial dan zona ekonomi eksklusif yang
didasarkan pada Pasal 121 UNCLOS 1982, hal ini mungkin dapat diterima namun
dalam hal penetapan landas kontinen mempunyai ketentuan khusus (specific rule)
yaitu adanya pembuktian adanya keberadaan pulau-pulau yang
relatively small, socially and economically insignificant tidak akan dianggap
sebagai special circumstances dalam penentuan garis batas landas
kontinen. Doktrin ini sejalan dengan prinsip proporsionalitas yang
dikenal sebagai salah satu cara perundingan batas maritim. Dan hal ini telah
dibuktikan dalam beberapa yurisprudensi hukum internasioal.
B.
ASPEK-ASPEK NEGARA PANTAI DAN NEGARA KEPULAUN
secara singkat perbedaan antara negara kepulauan dan
negara pantai dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu :
Aspek Geografis
Negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari
gugusan pulau, bagian pulau dan periaran yang mempunyai hubungan wujud alami ah
sehingga merupakan satu kesatuan histories, geografis, ekonomi dan politik.
Sedangkan negara pantai negara yang mempunyai daratan dan pantai walaupun
negara pantai dapat terdiri dari pulau-pulau.
Aspek Cara Penarikan Garis Pangkal
Negara kepulauan mempunyai hak untuk menarik garis
pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight baselines) ,garis pangkal
normal,garis penutup teluk, garis lurus yang melintasi mulut sungai. Sedangkan
negara pantai mempunyai hak untuk menarik garis pangkal lurus (straight
baselines), garis pangkal biasa, garis penutup teluk dan garis lurus yang
melintasi mulut sungai.
Aspek Penetapan
Perairan Pedalaman
Negara kepulauan daerah sebelah dalam dari garis
pangkal normal,garis penutup teluk, garis lurus yang melintasi mulut sungai,
garis pangkal yang ditarik dari instalasi pelanuhan permanent terluar.
Sedangkan negara pantai daerah sebelah dalam/sisi darat dari garis
pangkal.
Aspek Penarikan
Garis Pangkal
Negara kepulauan menggunakan metode penarikan garis
pangkal dari (1) garis pangkal lurus kepulauan. Dimana pengertian garis pangkal
lurus kepulauan adalah garis yang menghubungkan titik-titik terluar
pulau-pulau, karang kering dengan ketentuan di dalam garis pangkal termasuk
pulau utama dan suatu daerah dengan rasio perbandingan antara daerah peraiaran
dan daerah daratan adalah 1:1 dan 9:1, (2) hal lain yang perlu diperhatikan
adalah panjang garis pangkal yang tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali
dapat ditarik 125 mil dalam batas jumlah 3% dari konfigurasi garis pangkal
lurus kepulauan, (3) selain itu tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum
kepulauan, (4) dan yang terakhir garis pangkal lurus tidak boleh ditari dari
elevasi surut kecuali di atasnya dibangun mercusuar atau instalasi serupa
permanent ada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut terletak pada
suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
Sedangkan negara pantai mempunyai batasan mengenai penarikan garis lurus dengan
menggunakan metode (1) garis pangkal lurus dimana garis pantai menjorok ke
dalam dimana cara penarikannya dengan menghubungkan titik-titik terluar yang
disebut dengan garis pangkal lurus, (2) kemudian panjangnya tergantung
pada suatu kondisi garis pantai yang tidak tetap,titik yang dapat dipilih
adalah garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut sekalipun haris air
rendah mundur, (3) tidak boleh menyimpang dari arah umum pantai dan
bagian-bagian laut yang terletak di sisi dalam harus cukup dekat ikatannya
dengan daratan, (4) terakhir garis pangkal lurus tidak boleh ditarik dari
elevasi surut kecuali di atasnya dibangun mercusuar atau instalasi permanent
ada di atas permukaan laut atau kecuaki penarikangaris pangkal
lurus ked an dari elevasi demikian telah memperoleh pengakuan umum
internasional.
C. SENGKETA BLOK AMBALAT
Kawasan sekitar Blok East Ambalat yang saat ini
ditawarkan perusahaan minyak Petronas Carigali pada investor asing karena
diklaim pemerintah Malaysia berada dalam wilayahnya, sebenarnya sudah dikelola
oleh Indonesia sejak lama. Bahkan beberapa blok disekitar blok tersebut sudah
dikelola sejak puluhan tahun lalu, sebagai contoh15 perusahaan
minyak Total Indonesia telah mengelola Blok Bunyu sejak 1967, British Petroleum
di Blok NE Kalimantan Offshore tahun 1970, Hadson Bunyu untuk Blok Bunyu
pada 1983, ENI Bukat untuk Blok Bukat 1988 dan Job Pertamina–Teikoku di Blok
Sembakung tahun 1988. Wilayah Ambalat saat ini sudah dieksploitasi dengan
operator sebuah perusahaan minyak dari Italia, ENI Ambalat Ltd (kontrak
tertanggal 27- September 1999 s.d 2029) dengan sifat kontrak bagi hasil.
Sementara di wilayah Blok East Ambalat dikelola oleh Unocal
Ventures (kontrak tertanggal 12 Desember 2004). Sebenarnya peta konsesi minyak
(Pertamina) tersebut sejak lama sudah diketahui oleh Malaysia dan dikenal
sebagai “Exercise Indonesia Rigths to Continental Shell” tanpa ada
gugatan dari pihak manapun termasuk Malaysia sendiri.
Penawaran terhadap blok migas lain selain Blok East
Ambalat telah dilakukan pemerintah Indonesia pada investor asing melalui
penawaran langsung (direct offering) September 2004 antara lain16:
Blok Bulungan di Kalimantan timut, Blok Nunukan di Kalimantan Timur, Blok
Seruway (di NAD, Blok Pandan di Sumatera Selata, Blok barito di perbatasan
antara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Selain itu yang sudah
ditawarkan adalah Blok North West Natuna di Laut Natuna, Blok Air Komering di
Sumatera Selatan, Blok Belida di Sumatera Selatan, Blok East Sepanjang di Jawa
Timur dan Blok Sei Nangka-Senipah di Kalimantan Timur.
Namun setelah semua blok ditawarkan pemerintah Indonesia,
perusahaan Malaysia, Petronas Carigali ternyata kemudian menawarkan blok yang
sama pada investor asing lain tetapi dengan menamakan wilayah kerja mereka
sebagai wilayah Y (Blok ND 6) dan wilayah Z (Blok ND 7). Dengan demikian
wilayah Y (Blok ND 6) menjadi tumpang tindih dengan Blok Ambalat yang telah
dioperasikan oleh ENI Ambalat Ltd dan Blok East Ambalat oleh Unocal
Ventures. Sedangkan wilayah Z (Blok ND 7) adalah blok yang tumpang tindih
dengan wilayah perairan Philipina di selatan karang Frances .
Dasar klaim Malaysia terhadap wilayah perairan Ambalat
didasarkan pada peta 1979 yang diterbitkan secara sepihak (unilateral) oleh
Malaysia -yang sekaligus telah pula mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai
wilayah Malaysia di dalamnya dan menjadi dasar klaim kedua pulau tersebut-
walaupun peta 1979 tersebut telah mendapat protes baik dari Indonesia maupun
beberapa negara Asia Tenggara yang berbatasan dengan Malaysia antara lain :
Thailand,Vietnam, Singapura, Brunei dan Philipina. Bahkan Indonesia telah
mengajukan protes atas peta tersebut sejak tahun 1980 dan menyatakan tidak
mengakui peta 1979 tersebut. Jika dilihat dari sudut juridis, maka impelemtasi
hukum terhadap peta 1979 dapat dikatakan tidak ada sebab penentuan batas
maritim sebagaimana yang tergambar dalam peta 1979 tersebut tidak dilaksanakan
berdasar pada hukum internasional yaitu melalui perjanjian antar negara yang
wilayahnya berbatasan. Dengan demikian yang ada dari penerbitan peta 1979
adalah lebih condong pada implementasi politis semata, oleh karena itu
legitimasi peta 1979 ini masih dipertanyakan.
Namun demikian Malaysia tetap menganggap bahwa Blok
Ambalat di Laut Sulawesi merupakan bagian dari wilayahnya,sebab mwnurut mereka
Blok ND 6 dan ND 7 di laut Sulawesi itu berada dalam batas kontinen
Malaysia sebagaimana tercakup dalam peta wilayah perairan dan batas kontinen
Malaysia 1979. Oleh karenanya Malaysia merasa mempunyai hak dan yuridiksi
untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber-sumber alam batas
kontinennya sesuai Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut. Namun bila dicermati
argumentasi Malaysia yang menyatakan batas kontinennya sesuai dengan UNCLOS
1982 perlu dipertanyaan mengingat Malaysia bukanlah Negara kepulauan yang
bisa membuat dasar penarikan batas wilayah berdasarkan konvensi PBB
tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIM PULAN
Berdasarkan pada uraian di atas maka beberapa hal yang
dapat diambil sebagai kesimpulan dalam hal penyelesaian masalah Blok Ambalat,
Indonesia tetap harus berpegang pada Konvensi PBB 1982 tentnag Hukum Laut dan
peraturan-peraturan lain sebagai dasar kuat yang memberikan hak bagi
Indonesia bagai negara kepulauan untuk mematahkan klaim Malaysia atas wilayah
tersebut. Disamping itu perlu diperjelas lagi posisi dan hak ekplorasi
masing-masing negara atas wilayah perairan tersebut.
Dalam masalah sengketa Karang Unarang, wilayah ini
hendaklah tetap diperjuangkan sebagai wilayah NKRI baik secara politis maupun
diplomatis dan dijadikan sebagai titik dasar kepulauan. Disamping itu
pemerintah segera mendepositkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 pada
Sekjen PBB agar mendapatkan pengesahan atas batas wilayah negara. Selain itu
dipandang perlu untuk segera menetapkan garis batas baru wilayah NKRI pasca
Sipadan-Ligitan dan mendata pulau-pulau terluar yang berdasarkan pada daftar
koordinat geografis ttitik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia terdapat 92
pulau terluar yang tersebar di 19 provinsi, dimana 67 pulau diantaranya berada di
daerah yang langsung berbatasan dengan wilayah perairan negara lain .
Satu hal lain yang penting adalah Indonesia harus mengajukan klaim dan
argumentasi yang tepat tentang garis pangkal dan titik-titik dasar dengan
melihat berbagai aspek dalam hal ini faktor hukum, ekonomis, letak geografis
pulau, elevasi surut, geologis juga metode penetapan batas yang bersifat teknis
serta tidak boleh bergeser dari penerapan prinsip negara kepulauan yang
didasarkan pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar