Keruntuhan Konstitusi 2002
Akibat ditangkapnya ketua Mahkamah Konstistusi (MK)
oleh KPK pada tanggal 2 Oktober 2013 yang lalu di Jakarta membuat berbagai
kalangan mempertanyakan dan bahkan menggugat keberadaan MK. Pasalnya MK sebagai
lembaga tinggi Negara yang secara tidak langsung juga sebagai lembaga
ter-tinggi Negara karena pertemuan tiga kekuasaan (eksekutif, legislative,
yudikatif) ada pada lembaga ini. Vitalnya MK dalam sebuah Negara demokrasi seperti
Indonesia saat ini (NRI berdasar UUD 2002) menjadi ujung tombak dari supremasi
hukum serta simbol dari trias politica. Dalam posisi tersebut MK juga merupakan
lembaga “check and balances council” karena menjadi interseksi dari tiga
lembaga. Peranan mutlak MK sebagai lembaga yang berhak menafsirkan konstitusi
membuat para hakimnya menyandang sebutan “manusia setengah dewa”.
Keistimewaan-keistiwaan MK tersebut telah diatur oleh UUD Amandemen (UUD 2002)
dalam pasal 24 C serta UU. No 24 tahun 2003 jo UU. No 8 tahun 2011 baik secara
eksplisit maupun implisit.
Pada sebuah acara dialog di salah satu stasiun televisi swasta, yang membahas permasalahan korupsi dalam tubuh MK sempat melambung wacana pembubaran MK atau paling tidak memotong beberapa wewenang MK. Acara yang bertema “Runtuhnya Benteng Konstitusi” itu dihadiri oleh para politisi senayan dan akademisi. Pengamat kebangsaan Irman Putra Shidin dalam acara itu menegaskan “Jika publik tidak percaya pada parpol tinggal cari parpol lain, karena parpol ada banyak, tetapi jika publik tidak percaya pada MK itu bahaya karena MK hanya satu-satunya”. Suatu Negara dalam kondisi seperti ini sebenarnya keadaan bahaya. Karena kedaulatan tertinggi di Negara ini berada di tangan rakyat. Dan ketika rakyat sudak tidak percaya terhadap lembaga negaranya baik dalam sistem yang digunakan maupun orang-orangnya maka kepada siapa lagi sistem dan lembaga-lembaga itu mendapat legitimasi? Pertanyaan-pertanyaan itu pun turut dilontarkan di acara itu dan langsung dikaitkan dengan masalah pilkada dan politik uang. Dari pengkaitan itu akhirnya berbuah pada diseretnya ketua MK yang juga sebagai orang partai yang disinyalir menerima penyuapan terkait masalah pilkada.
Pada sebuah acara dialog di salah satu stasiun televisi swasta, yang membahas permasalahan korupsi dalam tubuh MK sempat melambung wacana pembubaran MK atau paling tidak memotong beberapa wewenang MK. Acara yang bertema “Runtuhnya Benteng Konstitusi” itu dihadiri oleh para politisi senayan dan akademisi. Pengamat kebangsaan Irman Putra Shidin dalam acara itu menegaskan “Jika publik tidak percaya pada parpol tinggal cari parpol lain, karena parpol ada banyak, tetapi jika publik tidak percaya pada MK itu bahaya karena MK hanya satu-satunya”. Suatu Negara dalam kondisi seperti ini sebenarnya keadaan bahaya. Karena kedaulatan tertinggi di Negara ini berada di tangan rakyat. Dan ketika rakyat sudak tidak percaya terhadap lembaga negaranya baik dalam sistem yang digunakan maupun orang-orangnya maka kepada siapa lagi sistem dan lembaga-lembaga itu mendapat legitimasi? Pertanyaan-pertanyaan itu pun turut dilontarkan di acara itu dan langsung dikaitkan dengan masalah pilkada dan politik uang. Dari pengkaitan itu akhirnya berbuah pada diseretnya ketua MK yang juga sebagai orang partai yang disinyalir menerima penyuapan terkait masalah pilkada.
Bony Hargens menambahkan “bahwa
kesalahan yang terjadi merupakan kesalahan kolektif dari seluruh lembaga Negara
termasuk Presiden dan DPR yang turut menyeleksi calon hakim agung”.
Salah-menyalahkan sampai dengan menyinggung pengkaderan partai tempat dimana
Akil Mochtar berasal pun dibahas di forum itu. Akan tetapi kesimpulan yang
didapat dari pembahasan itu sangat mengambang dan justru membuat publik semakin
bingung. Padahal beberapa “clue” sudah sempat disinggung dari permasalahan
konstitusi sampai dengan sistem itu bergerak dalam roda pemerintahan. Menurut
Ferdinand Lassale, konstitusi secara pengertian yuridis merupakan suatu naskah
yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan. Jadi bila
perjalanan roda pemerintahan dengan mengemban suatu misi penegakan hukum
berjalan dengan buruk maka hanya ada dua penyebab.
Pertama, kesalahan pada sistem
yang digunakan. Karena jika kita lihat secara pengertian, bahwa sistem
merupakan seperangkat elemen yang digabungkan untuk mencapai suatu tujuan
(Murdick dan Ross: 1993) maka sudah selayaknya suatu Negara juga seperti it. Sehingga
dalam mekanisme berjalannya alur sistem itu terdapat input, proses, dan output.
Serta dibutuhkan suatu mekanisme kontrol atau feed back untuk pengujian apakah
output yang dihasilkan sudah sesuai atau mendekati tujuan. Dalam sistem hukum
pun tidak dapat terlepas dari logika tersebut. Seperangkat aturan akan terlihat
modelnya dalam rangkaian mekanisme sistem yang terdiri dari elemen-elemnnya.
Jika elemen-elemen itu tidak berjalan semestinya
atau tidak pernah mencapai tujuan yang ditetapkan berarti seperangkat aturan tadi terdapat kesalahan prosedural dalam mengatur hubungan antara elemen-elemnnya.
atau tidak pernah mencapai tujuan yang ditetapkan berarti seperangkat aturan tadi terdapat kesalahan prosedural dalam mengatur hubungan antara elemen-elemnnya.
Kedua, kesalahan tidak dapat
terlaepas daripada manusianya sebagai operator dari sebuah sistem.
Sebaik-baiknya sistem jika yang menggunakan bukan orang yang ahli atau paham
terhadap sistem tersebut maka pencapaian dari tujuan yang telah ditetapkan
semakin jauh. Adapun antara sistem dan manusia saling berkaitan seperti halnya
api dan air yang mengandung hukum kausalitas.
Sistem dapat membentuk karakter
dan tingkah laku manusia. Tergantung pada peraturan yang mengatur elemen-elemen
itu. Jika baik maka baik pula karakter manusianya tetapi jika buruk maka buruk
pula manusia itu. Hipotesis ini bisa kita kaitkan dari pernyataan Bony Hargens
yang menyebutkan “kesalahan kolektif” dalam permasalahan korupsi di MK. Ada
indikasi bahwa peraturan itu membuka peluang untuk adanya kesalahan bersama
atau lebih tegasnya mekanisme siapa mengawas siapa?
Sejak UUD 1945 di amandemen,
sirkulasi pengawasan antara lembaga Negara menjadi semerawut. Tidak adanya
lembaga tertinggi Negara (seperti MPR dahulu) sebagai pengawas mutlak dan
tempat memberi mandat kepada lembaga-lembaga Negara yang berada di bawahnya
(eksekutif, legislative, dan yudikatif) membuat masing-masing lembaga dapat menafsirkan
sendiri makna konstitusi. Dan dari fenomena itu kemudian digagaslah suatu
lembaga superior sebagai pertemuan ketiga lembaga. Dimana lembaga itu terdiri
dari 9 hakim agung yang diajukan 3 dari Presiden, 3 dari DPR, dan 3 dari MA
(Pasal 18 UU no 24 tahun 2003). Sehingga terpenuhilah unsur trias politica dan
check and balances dalam sebuah Negara demokrasi.
Alhasil dari komposisi itu, MK
menjadi lembaga yang sarat dengan keputusan yang bernuansa politik meskipun
berada dalam ranah hukum. Dan segala keputusannya bersifat final dan tidak
boleh diganggu-gugat. Absolutnya lembaga ini pun dibuktikan dengan adanya
wewenang pengujian undang-undang terhadap UUD. Sehingga secara implisit UUD
Amandemen yang tidak memiliki bab penjelasan itu hanya dapat ditafsirkan oleh
MK. Kemudian bergulir lagi pertanyaan siapakah yang mengawasi MK ? Mantan hakim
MK Maruarar Siahaan menjawab “pengawasan internal MK cukup untuk mengawasi para
hakim dan tidak perlu memberikan kewenangan kapada KY untuk melakukan
pengawasan, Saya rasa dengan adanya OTT ini, itu sudah pengawasan yang cukup
tinggi, tidak perlu pengawasan bentuk lain tapi memang bahwa masyarakat yang
mengawasi kalau ada penyimpang-penyimpangan etik. Misalnya dia bisa membuat
surat kepada MK yang nantinya (ditindaklanjuti) majelis kehormatan,” kata
Maruarar (tribun.news).
Apapun mekanisme tentang hubungan internal MK dan hubungan eksternalnya baik dengan lembaga negara lainnya maupun masyarakat luas akan mengkerucut pada tujuan hukum itu sendiri. Jika mekanisme itu semakin menjauhkan terhadap tujuan hukum Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 berarti pertama-tama kita kroscek adalah batang tubuh UUD yang telah berubah sejak tahun 2002. Dan dengan adanya fenomena penangkapan ketua MK beserta kinerjanya selama ini yang tidak memberikan output terhadap tujuan berbangsa dan bernegara telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Suatu hal yang tidak mungkin jika lembaga ini dibubarkan, karena konstitusi mangamanatkan bahwa lembaga ini harus ada. Akan tetapi ketika lembaga ini memiliki fungsi sebagai “benteng konstitusi” dan namanya telah tercoreng karena praktik korupsi, maka essensinya dapat dikatakan bahwa konstitusi 2002 telah mengalami kegagalan dan diambang keruntuhan. Karena temboknya telah mengalami keruntuhan dalam bentuk ketidakpercayaan publik
Apapun mekanisme tentang hubungan internal MK dan hubungan eksternalnya baik dengan lembaga negara lainnya maupun masyarakat luas akan mengkerucut pada tujuan hukum itu sendiri. Jika mekanisme itu semakin menjauhkan terhadap tujuan hukum Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 berarti pertama-tama kita kroscek adalah batang tubuh UUD yang telah berubah sejak tahun 2002. Dan dengan adanya fenomena penangkapan ketua MK beserta kinerjanya selama ini yang tidak memberikan output terhadap tujuan berbangsa dan bernegara telah meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Suatu hal yang tidak mungkin jika lembaga ini dibubarkan, karena konstitusi mangamanatkan bahwa lembaga ini harus ada. Akan tetapi ketika lembaga ini memiliki fungsi sebagai “benteng konstitusi” dan namanya telah tercoreng karena praktik korupsi, maka essensinya dapat dikatakan bahwa konstitusi 2002 telah mengalami kegagalan dan diambang keruntuhan. Karena temboknya telah mengalami keruntuhan dalam bentuk ketidakpercayaan publik
By
agus salim tidore