BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian
uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang Undang No.15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003
diamdemen dengan Undang Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama
lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari
memuaskan.
Ketika
diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan
yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan
Financial Action Task Force (FATF). [1] Desakan internasional pertama kali
dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan
penilaian FATF[2] akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring
formal FATF.
Namun demikian
ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi”karena pada tahun 2007
FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim
anti pencucian uang di Indonesia termasuk peratutan perundangan yang mendukung
penegakannya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Yang menjadi permasalahan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Mengapa praktik pencucian uang harus
diberantas dan bagaimana strategi pemberantasannya.?
2. Untuk melihat faktor yang
menyebabkan belum optimalnya penegakan hukum terhadap ketentuan anti pencucian
uang di Indonesia, perlu melihat kembali pemahaman untuk apa dilakukan
kriminalisasi pencucian uang atau mengapa praktik pencucian uang harus
diberantas.
Terlepas dari kenyataan bahwa
Indonesia membuat anti pencucian uang pada walnya karena desakan Internasional
bukan karena kesadaran pentingnya pemberantasan pencucian bagi Indonesia,[3]
praktik pencucian uang adalah suatu jalan bagi para pelaku kejahatan ekonomi
untuk dengan leluasa dapat menikmati dan memanfaatkan hasil kejahatannya.
Selain itu uang (hasil kejahatan) merupakan nadi bagi kejahatan terorganisasi
(organized crimes) dalam mengembangkan jaringan kejahatan mereka, maka
penghalangan agar pelaku dapat menikmati hasil kejahatan menjadi sangat penting.
Kejahatan teroganisasi yang paling berbahaya dan sangat berkepentingan untuk mencuci hasil kejahatan mereka pada awalnya hanya kejahatan perdagangan illegal narkotika dan subsatansi psichotropika.
Kejahatan teroganisasi yang paling berbahaya dan sangat berkepentingan untuk mencuci hasil kejahatan mereka pada awalnya hanya kejahatan perdagangan illegal narkotika dan subsatansi psichotropika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KELEMAHAN
DALAM PENEGAKAN HUKUM KETENTUAN ANTI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA.
Dari latar belakang falsafah
dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang, maka dapat dikaji beberapa kendala yang
muncul dalam penerapan ketentuan ini di Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa
suatu keberhasilan dalam penegakan hukum sangat tergantu pada beberapa factor
yaitu bagaimana formulasi undang-undangnya, kualitas penegak hukumnya dan
budaya masyarakatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor
tersebut ternyata juga mempengaruhi belum optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor
tersebut nampaknya propfesionalitas para penegak hukum lebih dominan dibanding
dua faktor yang lain.
Kelemahan dari formulasi
perundangan.
Pencucian uang sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas
yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan
ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang
bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya
atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau
ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal
yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang.
Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya.
Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan kejahatan asalnya.
Dari rumusannya maka kejahatan
pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak
Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian
Uang (Pasal 8 dan 9).
Pasal 3:
Pasal 3:
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kedalam
penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu
penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama
sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya
maupun atas nama pihak lain;
f. membawa keluar negeri harta kekayaan
yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya
atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya;
dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyemarkan asal
usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana
penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling
sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp. 15.milyar.
Unsur obyektif
(actus reus) dari Pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti delik maka
harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan,
mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta
kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan).
Sedangkan unsur subyektifnya (mens
rea) yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut
menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk
menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Pasal
6
Setiap orang yang menerima atau
menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar.
Unsur
obyektif Pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan (yang
diketaui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana). Sedangkan unsur
subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut menduga bahwa harta
kekayaan merupakan hasil tindak pidana.
Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian uang yaitu:
Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian uang yaitu:
Pasal 8:
Penyedia
jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada PPATK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda
paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar.
Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut:
Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb:
Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut:
Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb:
a. transaksi keuangan mencurigakan;
b. transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih atau
mata uang asing yang nilainya setara dilakukan dalam satu kali transaksi maupun
beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.
Pasal
9:
Setiap orang yang tidak melaporkan
uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau mata uang asing
yang nilainya setara yang dibawa kedalam atau keluar wilayah Negara R.I.
dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp.
300 juta.
Dari rumusan tersebut diatas sebenarnya sudah cukup bagus dan sesuai dengan model pengaturan yang disarankan, hanya ketentuan angka Rp 500 juta atau dapat ditentukan oleh PPATK agak menyimpang dari asas hukum pidana yaitu tidak ada ketegasannya.
Dari rumusan tersebut diatas sebenarnya sudah cukup bagus dan sesuai dengan model pengaturan yang disarankan, hanya ketentuan angka Rp 500 juta atau dapat ditentukan oleh PPATK agak menyimpang dari asas hukum pidana yaitu tidak ada ketegasannya.
B.
KELEMAHAN
BERKAITAN DENGAN PENERAPAN UUTPPU
Faktor ke dua dan paling menonjol
kelemahannya adalah dalam tahap pelaksanaannya. Untuk menegakan hukum terhadap
terhadap praktik pencucian uang memerlukan kerjasama yang baik dari semua unsur
Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dalam hal ini terdiri dari polisi, jaksa,
hakim dan juga PPATK. Masing-masing unsur SPP dan PPATK harus bisa berjalan
dengan baik terkoordinir dan simultan. Namun nampaknya masih terdapat masalah
dalam penegakan terhadap pencucian uang:
1. Peranan PPATK dalam pengungkapan
pencucian uang
Menarik
untuk dicermati bahwa berdasarkan rekomendasi dari FATF maka dibentuklah badan
investigasi sebagai FIU (Financial Intelligence Unit), yang tugas dan
keberadaan FIU untuk membantu kepolisian dalam penanganan tindak pidana
pencucian uang adalah:
“The
Financial Intelligence Unit or FIU XE “FIU” is an information gathering and
processing unit. It’s essential function as an intermediary. If factions as the
recipient of otherwise confidential information from banks, the secretive and
trusted cooperation partner of the banks to whom information can be entrusted.
It recieves, reveiw and evaluates information on very large number of transactions.
Out of those only those found suspicious in some way are brought to the
intention of the police.
PPATK
meskipun independen namun fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai fungsi
administratif. Di Indonesia PPATK tugasnya mengumpulkan dan memproses informasi
yang berkaitan dengan kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK berfungsi
sebagai motor penggerak untuk menganalisis adanya kecurigaan pencucian uang
terutama melalui deteksi dini dalam alur transaksi yang mencurigakan.
Namun
demikian badan ini tetap dalam status melakukan tahap penyelidikanpun sangat
awal dan sangat terbatas (lihat Pasal 1 huruf a angka dan 2) membantu
kepolisian. Hasil analisis atas transaksi atau kecurigaan adanya pencucian uang
kemudian diserahkan kepada polisi yang ternyata oleh polisi masih dilakukan
penyelidikan lagi baru ditindak lanjuti dengan penyidikan dan proses
selanjutnya. Artinya bahwa hasil anlisis PPATK ini bukanlah sebagai alat bukti
karena masih harus ditindaklanjuti dalam penyidikan, selain itu dalam masa
penyidikan tersebut PPATK tidak berwenang untuk memblokir, artinya hasil
analisis ini tidak terlalu berarti.
2. Peran Polisi dalam melakukan
investigasi terhadap perkara pencucian uang.
Dalam ketentuan UUTPPU dimaksud penanganan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang berada dibawah kewenangan Kepolisian R.I., disamping itu dibentuk lembaga (Financial Investigation Unit), yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang fungsinya antara lain penerima laporan (repository function) dan penganalisis (analysis function) dan sebagai clearing house yaitu lembaga yang menyediakan fasilitas untuk pertukaran informasi atas transaksi yang mencurigakan.
Dalam ketentuan UUTPPU dimaksud penanganan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang berada dibawah kewenangan Kepolisian R.I., disamping itu dibentuk lembaga (Financial Investigation Unit), yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang fungsinya antara lain penerima laporan (repository function) dan penganalisis (analysis function) dan sebagai clearing house yaitu lembaga yang menyediakan fasilitas untuk pertukaran informasi atas transaksi yang mencurigakan.
Berkenaan dengan tugas penyidikan
polisi harus memperoleh alat bukti yang akan diajukan pada jaksa untuk
selanjutnya diungkapkan di persidangan, dan untuk perkara pencucian uang
bukanlah masalah mudah, apalagi harus dikaitkan dengan kejahatan asalnya. Peran
polisi juga sangat dominan manakala berkaitan dengan pengembalian harta kekayaan
hasil tindak pidana ini di luar negeri. Kemajuan dibidang teknologi informasi
memungkinkan kejahatan pencucian uang bisa terjadi melampaui batas kedaulatan
suatu Negara, untuk mencegah dan memberantasnya memerlukan kerjasama antara
Negara.
Perlu ditekankan bahwa polisi tidak selalu harus menunggu laporan atau hasil investigasi dari PPATK, bisa saja dan sangat mungkin polisi melakukan penyelidikan awal terlebih dahulu atas adanya dugaan pencucian uang. Dalam kasus seperti ini misalnya polisi telah mempunyai bukti awal tentang adanya korupsi atau aliran dana illegal logging misalnya, justru polisi berinisiatif meminta bantuan PPATK untuk rekening tertentu. Seperti yang terjadi sekarang ini, begitu banyak kasus korupsi yang terungkap seharusnya polisi mengambil inisiatif menelusuri aliran dana terlebih dahulu tidak perlu menunggu dari PPATK.
Sebaiknya polisi juga mulai waspada terhadap praktek pencucian uang yang menggunakan cara-cara manual atau tradisional yaitu cara pemindahan uang dari bagasi ke bagasi. Nampaknya hal ini mulai marak di Indonesia, sebagai perbandingan di Amerika sendiri masih terjadi pencucian uang yang menggunakan cara-cara tradisional seperti hundi.
Perlu ditekankan bahwa polisi tidak selalu harus menunggu laporan atau hasil investigasi dari PPATK, bisa saja dan sangat mungkin polisi melakukan penyelidikan awal terlebih dahulu atas adanya dugaan pencucian uang. Dalam kasus seperti ini misalnya polisi telah mempunyai bukti awal tentang adanya korupsi atau aliran dana illegal logging misalnya, justru polisi berinisiatif meminta bantuan PPATK untuk rekening tertentu. Seperti yang terjadi sekarang ini, begitu banyak kasus korupsi yang terungkap seharusnya polisi mengambil inisiatif menelusuri aliran dana terlebih dahulu tidak perlu menunggu dari PPATK.
Sebaiknya polisi juga mulai waspada terhadap praktek pencucian uang yang menggunakan cara-cara manual atau tradisional yaitu cara pemindahan uang dari bagasi ke bagasi. Nampaknya hal ini mulai marak di Indonesia, sebagai perbandingan di Amerika sendiri masih terjadi pencucian uang yang menggunakan cara-cara tradisional seperti hundi.
Sudah seharusnya mulai dipikirkan
bahwa ketika suatu perkara pencucuian uang terungkap maka para pelaku kejahatan
itu akan mengevaluasi teknik-teknik yang mereka lakukan dan pada akhirnya akan
menjatuhkan mereka. Mereka akan selalu mengikuti pemberitaan kasus mereka di
media massa, menyimak jalannya persidangan dan mendengarkan keterangan-keterangan
saksi yang dihadirkan serta mempelajari transkrip-transkrip persidangan untuk
mengetahui di mana kelemahan mereka sehingga terjebak dalam penangkapan polisi.
Artinya polisi harus menyadari bahwa penjahat tidak bisa didikte oleh pemerintah. Apabila di Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya untuk mengamankan sistem bank sebagai sarana pencucian uang, sudah seharusnya polisi lebih mewaspadai proses pencucian uang yang tidak melalui bank.
Menghadapi ancaman pencucian uang yang semakin canggih dan dengan cara sederhana tetapi strategis bukan sesuatu yang mudah. Di berbagai negara hal ini sangat dipahami, sehingga Amerika mengeluarkan undang-undang yang disebut Stink Operation (operasi penjebakan). Pada intinya operasi ini adalah untuk mengungkap jaringan pencucian uang dengan cara penyamaran (undercover inquiring). Jadi polisi dalam waktu tertentu menyamar sebagai pelaku pencucian uang dengan menggunakan uang negara, seperti pada pengungkapan tindak pidana narkotika.
Artinya polisi harus menyadari bahwa penjahat tidak bisa didikte oleh pemerintah. Apabila di Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya untuk mengamankan sistem bank sebagai sarana pencucian uang, sudah seharusnya polisi lebih mewaspadai proses pencucian uang yang tidak melalui bank.
Menghadapi ancaman pencucian uang yang semakin canggih dan dengan cara sederhana tetapi strategis bukan sesuatu yang mudah. Di berbagai negara hal ini sangat dipahami, sehingga Amerika mengeluarkan undang-undang yang disebut Stink Operation (operasi penjebakan). Pada intinya operasi ini adalah untuk mengungkap jaringan pencucian uang dengan cara penyamaran (undercover inquiring). Jadi polisi dalam waktu tertentu menyamar sebagai pelaku pencucian uang dengan menggunakan uang negara, seperti pada pengungkapan tindak pidana narkotika.
Namun untuk operasi penjebakan
pencucian uang ini lebih rumit, karena tidak sekedar penyamaran saja tetapi
negara harus menyiapkan sejumlah uang yang akan digunakan dalam penyamaran
tersebut untuk dicuci. Nampaknya tanpa adanya undang-undang stink operation ini
akan sulit terwujud.
C.
PERANAN
JAKSA DAN PROBLEMA PEMBUKTIAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
Dalam pengamatan selama 4 tahun
Indonesia memiliki ketentuan anti pencucian uang, maka nampaknya kegagalan
terbesar terletak pada kelemahan jaksa dalam membuktikan perkara ini. Masalah
berawal dari penuntutan yang ternyata tidak sederhana, pertama berkenaan bahwa
tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan (follow up crimes)
sehingga ada permasalahan lain yaitu bagaimana dengan core crime (predicate
offencenya). Apakah harus dibuktikan keduanya atau cukup pencucian uangnya saja
tanpa terlebih dahulu membuktikan predicate offencenya.
Berdasarkan amanat undang-undang
maka predicate offece tidak perlu dibuktikan, artinya cukup menggunakan bukti
petunjuk saja. Sebagai konsekuensinya maka dakwaan harus disusun secara
kumulatif bukan alternative, karena antara predicate offence dan pencucian uang
adalah dua kejahatan yang walaupun perbuatan pencucian uang selalu harus
dikaitkan dengan predicate offencenya, namun pencucian uang adalah kejahatan
yang berdiri sendiri (as a separate crime). Dengan demikian dalam mendakwa
tindak pidana pencucian uang misalnya berkaitan dengan dakwaan Pasal 3 maka
predicate offence dan follow up crimesnya didakwakan sekaligus.
Namun demikian perlu diperhatikan adakalanya terhadap pelaku Pasal 3 dakwaan bisa saja tunggal yaitu ketika seseorang melakukan proses pencucian uang atas hasil kejahatan dimana pelaku tidak terlibat langsung dengan kejahatan namun dia patut untuk menduga bahwa uang tersebut berasal dari kejahatan. Untuk pelaku ini tidak harus dipertanggungjawabkan predicate offencenya, tetapi hanya tindak pidana pencucian uangnya.
Namun demikian perlu diperhatikan adakalanya terhadap pelaku Pasal 3 dakwaan bisa saja tunggal yaitu ketika seseorang melakukan proses pencucian uang atas hasil kejahatan dimana pelaku tidak terlibat langsung dengan kejahatan namun dia patut untuk menduga bahwa uang tersebut berasal dari kejahatan. Untuk pelaku ini tidak harus dipertanggungjawabkan predicate offencenya, tetapi hanya tindak pidana pencucian uangnya.
Selanjutnya masih ada dakwaan
tunggal untuk tindak pidana pencucian uang yang tidak harus dikaitkan dengan
predicate offencenya, dalam hal ini misalnya pelaku hanya berkenaan dengan
dakwaan Pasal 6, dimana pelaku hanya dipertanggungjawabkan atas perbuatan
pencucian uang pasif yaitu menerima dan lain-lain atas harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan. Dalam
hal pelaku hanya berkaitan dengan Pasal 6 maka dakwaannya bersifat tunggal atau
didakwa alternative dengan pasal lain yang relevan, yang penting harus sesuai
dengan fakta bahwa perbuatannya hanya satu.
Permasalahan selanjutnya berkenaan
dengan pembuktian unsur subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau
actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau
reason to know (patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut
berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa dana
tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau
maksud untuk melakukan transaksi.
Untuk membuktikan unsure mengetahui tentunya sudah jelas bahwa pelaku harus memenuhi knowingly dan willingly, selanjutnya berkenaan pembuktian unsure patut menduga maka hal ini persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended yaitu bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, untuk pembuktian ini juga sulit maka pengadilan di Amerika Serikat telah menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumstantial evidence) cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur tersebut.
Untuk membuktikan unsure mengetahui tentunya sudah jelas bahwa pelaku harus memenuhi knowingly dan willingly, selanjutnya berkenaan pembuktian unsure patut menduga maka hal ini persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480 KUHP yang menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah lalai). Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended yaitu bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, untuk pembuktian ini juga sulit maka pengadilan di Amerika Serikat telah menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumstantial evidence) cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur tersebut.
Jadi apabila unsur sengaja dan
mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan bersal dari kejahatan maka
dengan sendirinya unsur intended terbukti. Di Indonesia hal ini nampaknya belum
dilakukan, maka jaksa harus mengambil unsur menyamarkan (disguissing) yang
lebih mudah dibuktikan daripada menyembunyikan (hiding).
D.
PERANAN
HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PENCUCIAN UANG.
Berkenaan dengan karakteristik yang
unik dari tindak pidana pencucian uang, peranan hakim sangat menentukan untuk
tujuan pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang
didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit, karena
harus membuktikan dua kejahatan sekaligus.
Profesionalitas hakim sangat
diperlukan untuk mengikuti semua system acara peradilan yang banyak menggunakan
pendekatan pragmatis, misalnya adanya perlindungan saksi, adanya praktik acara
pembalikan beban pembuktian (the shifting of the burden of proof).
UUTPPU belum mengatur secara rinci
tentang acara persidangan khusus untuk pembalikan beban pembuktian ini, tetapi
di masa depan hal ini harus dilakukan. Selain tatacara yang ditentukan, hakim
juga harus sangat memahami bahwa mengingat penerapan pembalikan beban
pembuktian pada dasarnya melanggar prisip non self incrimination, maka harus
ditekankan bahwa penerapan ini sangat terbatas pada tahap persidangan dan hanya
untuk satu unsure saja.
Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah bahwa harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan, artinya apabila unsure ini tidak bias dibuktikan oleh terdakwa jaksa tetap harus membuktikan unsure lainnya baik itu unsure obyektif amaupun subyekti, sepanjang itu merupakan inti delik (bestandelen).
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim apabila ide tentang bukti pendukung (circumstancial evidence) akan diterapkan. Pemikiran tentang pembuktian unsur (intended) yaitu dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan dst, yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur didepannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharus melakukan lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsure intended pasti terbukti.
Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah bahwa harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan, artinya apabila unsure ini tidak bias dibuktikan oleh terdakwa jaksa tetap harus membuktikan unsure lainnya baik itu unsure obyektif amaupun subyekti, sepanjang itu merupakan inti delik (bestandelen).
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim apabila ide tentang bukti pendukung (circumstancial evidence) akan diterapkan. Pemikiran tentang pembuktian unsur (intended) yaitu dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan dst, yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur didepannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharus melakukan lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsure intended pasti terbukti.
Dalam hal ini berlaku suatu logika
hukum, yaitu dimana terdakwa yang telah terbukti sengaja melaku transfer
misalnya, dan kemuidian dia juga terbukti mengetahui atau paling tidak patut
menduga bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari kejahatan, maka
seharusnya dapat disimpulkan tujuan
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Penegakan hukum terhadap kasus
dugaan pencucian uang sampai saat ini relatif sedikit yang sampai di
pengadilan. Dari sisi penegak hukum Indonesia masih banyak menghadapi kendala,
misalnya antara PPATK dan Kepolisian nampaknya belum bisa berkerja secara
simultan. Dalam praktek di lapangan sering terjadi ketidakharmonisan dalam
menjalankan masing-masing peran sehingga dapat merugikan penegakan UUTPPU itu
sendiri.
Misalnya belum ada kesamaan persepsi
antara PPATK dan polisi tentang transaksi yang mencurigakan, kemudian antara
polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul persepsi yang berbeda sehubungan
dengan telah terjadinya pencucian uang. Sebagai contoh adalah suatu perkara
tersebut sudah cukup bukti namun jaksa memandang tidak cukup bukti.
B.
SARAN
Kendala lain yang pasti akan timbul
antara lain belum diatur mekanisme dan kerjasama yang langsung mengatur dalam
hal bagaimana apabila terjadi korupsi yang ditangani KPK yang juga terlibat
pencucian uang. Dalam hal ini ada kekosongan hukum, karena KPK tidak berwenang
menangani masalah pencucian uang, sedangkan seharusnya antara korupsi dan
pencucian uang disidang secara bersamaan dengan dakwaan kumulatif.
DAFTAR
PUSTAKA
_________Baldwin Jr, Fletcher N, Money Laundering and Wire Transfer: When The New Regulation Take Effect. Will They Help?, Dick.J. Int’l. L. vol.14, 1996.
Barbot, Lisa A, Comment, Money Laundering: An International Challenge”,Tul.J.Int’l & Comp.L.,vol.3,1995.
_________Bhala, Raj, The Interveted
Pyramid of Wire Transfer Law, Ky.L.J.82, 1993.
Biagio, Thomas M, Money Laundering and Trafficking: A Question of Understanding The Element of The Crime and The Use of Circumstacial Evidence, Univ.of Richmond Law.Rev, Vol.28:255.1994.
Biagio, Thomas M, Money Laundering and Trafficking: A Question of Understanding The Element of The Crime and The Use of Circumstacial Evidence, Univ.of Richmond Law.Rev, Vol.28:255.1994.
_________Chaikin, David A, Money
Laundering: An Investigatory Perspective, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring,
1991.
De Feo, Michael A, Depriving
International Narcotics Traffickers and other Organize Criminals of Illegal
Proceed and Combating Money Laundering, Den.J. Int’l L & Pol’y, vol. 18:3,
1990.
_________Garnasih, Yenti,
Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Universitas Indonesia Fakultas
Hukum Pascasarjana, Jakarta, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar